Probelematika Penegakan Hukum Pidana Pajak Terhadap Wajib Pajak
- vstory
Dalam hal ini, harta kekayaan terpidana berpotensi disita seluruhnya dan dilelang untuk membayar pidana denda. Sebetulnya perbuatan yang demikian bertentang dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yakni:
"Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah."
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana proses penjatuhan pidana penjara? Berdasarkan prinsip do process of law, harus melalui mekanisme pemeriksaan pengadilan yang outputnya adalah putusan hakim dengan amar putusan pemidanaan. Namun demikian, proses ini pun melanggar asas hukum umum “ne bis in idem” yang berarti tidak seorang pun dapat dituntut atau diadili dua (2) kali atas perbuatan yang sebelumnya telah diputus oleh hakim.
Selain itu, melanggar pula Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, secara tegas menyatakan bahwa:
“Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya.”
Ketentuan Acara Pidana di Dalam Undang-Undang Perpajakan
Penegakan ketentuan pidana pajak terlebih diawali dengan tindakan atau kegiatan “pemeriksaan bukti permulaan" (BUKPER) oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal ini diatur dalam Pasal 43 ayat (1) dan (1a) UU HPP dan Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 239/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan (PMK Nomor 239/PMK.03/2014).
Menurut Pasal 1 angka (9) PMK Nomor 239/PMK.03/2014 bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan bukti permulaan adalah “pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.”
Lalu, menurut penjelasan resmi Pasal 43A UU HPP bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karena itu, pada tahap inilah dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan menentukan suatu peristiwa sebagai peristiwa pidana atau bukan.
Jadi, dapat dipahami bahwa pemeriksaan bukti permulaan menjadi sangat sensitif dan krusial. Sensitif karena pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan dilakukan sepenuhnya oleh internal penyidik PPNS di lingkungan DJP. Krusial karena berdasarkan pemeriksaan bukti permulaan inilah akan menentukan apakah peristiwa tersebut merupakan peristiwa pidana atau bukan.