Menguak Fenomena Office Frogging, Cara Gen Z Kabur dari Bos Toxic dan Gaji Kecil

Ilustrasi Gen Z.
Sumber :
  • Pexels.com

Jakarta, VIVA – Jika dulu orang dianggap sukses ketika bisa bertahan lama di satu perusahaan, kini banyak anak muda yang justru berpikir sebaliknya. Ya, generasi Z, khususnya mereka yang berusia di bawah 27 tahun, mulai menunjukkan pola berbeda dalam membangun masa depan profesional mereka.

Fenomena ini disebut office frogging. Mirip dengan katak yang melompat dari satu daun teratai ke daun lainnya, para pekerja muda kini lebih sering “lompat” dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. 

Alasannya beragam, mulai dari keinginan belajar hal baru, mencari gaji lebih tinggi, hingga mencari lingkungan kerja dengan kepemimpinan yang lebih sehat dan tingkat stres yang lebih rendah. 

Menariknya, tren ini ternyata cukup kuat hingga mendapat perhatian pakar karier internasional.

Apa Itu Office Frogging?

“Office frogs adalah karyawan yang tidak bertahan terlalu lama di satu pekerjaan,” ujar Peter Duris, co-founder aplikasi karier berbasis AI, Kickresume, seperti dikutip dari Forbes, Kamis, 2 Oktober 2025.

“Biasanya, mereka berasal dari Gen Z,” sambungnya. Khususnya, Gen Z yang merasa kelelahan dan digaji rendah, memilih untuk melompat mencari peluang baru. 

Mereka berharap mendapatkan pekerjaan dengan stabilitas, pemimpin yang bisa dipercaya, stres minim, serta tentu saja gaji lebih tinggi. Office frogging adalah momen penuh lompatan, mirip dengan tren ‘revenge quitting,’ yang dipimpin oleh Gen Z yang kecewa dan lebih memilih kembali ke pasar kerja yang tidak pasti daripada naik tangga karier di perusahaan mereka saat ini.

Sebuah survei Glassdoor terhadap 1.000 profesional di AS menunjukkan bahwa 68% anak muda tidak akan mengejar posisi manajerial kecuali disertai anggaran lebih besar dan jabatan yang lebih prestisius.

“Kadang-kadang pekerja membutuhkan kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru dan meningkatkan gaji mereka, sesuatu yang mungkin hanya bisa dicapai dengan peluang baru,” jelas Duris.

Meski begitu, Duris memberi peringatan bahwa terlalu sering berpindah kerja bisa berdampak negatif. “Terlalu banyak melompat pekerjaan dapat membuat kandidat kurang menarik di mata calon pemberi kerja di masa depan,” kata dia.