Waduh! Gen Z Disebut 'Tak Layak Kerja', Minimnya Skill Ini Jadi Sorotan
Jakarta, VIVA – Generasi Z kembali menjadi sorotan setelah muncul kritik tajam mengenai kesiapan mereka di dunia kerja. Suzy Welch, profesor NYU, menyebut Gen Z "tidak layak kerja". Mengapa?
Fenomena ini terjadi di tengah pasar kerja yang makin kompetitif. Otomatisasi berbasis kecerdasan buatan mempercepat hilangnya pekerjaan rutin, sehingga keterampilan manusia seperti komunikasi, empati, dan kemampuan menyelesaikan konflik semakin bernilai.
Namun, banyak pengusaha menilai Gen Z justru lemah di area tersebut. Akibatnya, perusahaan hingga universitas merasa perlu turun tangan memberikan pelatihan tambahan agar lulusan muda lebih siap.
Dalam artikelnya di Wall Street Journal, Welch menulis bahwa nilai utama yang dihargai manajer rekrutmen, yakni prestasi, pembelajaran, dan semangat kerja, hanya menjadi prioritas sekitar 2% mahasiswa Gen Z.
Sebagian besar lebih mengutamakan perawatan diri, originalitas, dan membantu orang lain. Ketidaksesuaian ini membuat banyak lulusan muda dianggap kurang siap beradaptasi dengan standar profesional.
Ilustrasi: Kuliah dan kerja part time
- Freepik.com
Survei pemimpin bisnis pada 2024 menunjukkan satu dari enam eksekutif enggan merekrut lulusan baru, dan tiga perempat menyebut kualitas rekrutan tidak memuaskan.
Beberapa pemimpin organisasi memilih untuk bertindak. Rebecca Adams, Chief People Officer Cohesity, startup AI senilai US$1,5 miliar atau setara Rp24,9 triliun, mengirim semua manajernya mengikuti pelatihan cara berinteraksi dengan Gen Z.
Adams, yang juga ibu dari dua anak Gen Z, melihat banyak pekerja muda kesulitan dengan hal-hal dasar seperti etika rapat atau manajemen kalender. Ia juga bercerita tentang seorang intern berprestasi yang menolak tawaran kerja penuh waktu demi mengambil cuti setahun untuk berlibur. “Kalau saya jadi ibunya, saya pasti bilang, ambil pekerjaan itu, jalan-jalan nanti saja,” ujar Adams, seperti dikutip dari Fortune, Jumat, 3 Oktober 2025.
Menurutnya, generasi ini memiliki pandangan berbeda, sehingga kedua belah pihak perlu belajar untuk bisa bekerja sama. Di sisi lain, Liz Feld, CEO Radical Hope, mengembangkan program di 75 kampus untuk mengajarkan komunikasi, empati, manajemen stres, hingga resolusi konflik.
“Orang tua mereka terlalu banyak membuat keputusan, sehingga ketika masuk kampus, mereka tidak siap melakukan hal-hal paling sederhana,” kata Feld.