Bandara Gwadar di Pakistan Senilai Rp 3,9 Triliun Kosong Penumpang dan Pesawat
- Istimewa
Banyak penduduk setempat yang kebingungan.
"Dulu tidak ada yang bertanya ke mana kami akan pergi, apa yang sedang kami lakukan, dan siapa nama Anda," kata Khuda Bakhsh Hashim, seorang warga di wilayah itu.
"Dulu kami suka piknik semalaman di pegunungan atau daerah pedesaan. Kami adalah penduduk setempat. Mereka yang bertanya seharusnya yang memperkenalkan diri mereka."
Hashim mengenang saat Gwadar masih menjadi bagian dari Oman, bukan Pakistan, dan menjadi tempat persinggahan kapal penumpang yang menuju Mumbai. Orang-orang tidak kelaparan dan mudah mendapatkan pekerjaan, katanya.
Ilustrasi bandara.
- Istimewa
Namun, air di Gwadar telah mengering karena kekeringan dan eksploitasi yang tidak terkendali. Begitu pula dengan pekerjaan.
Pemerintah mengatakan CPEC telah menciptakan sekitar 2.000 pekerjaan lokal, tetapi tidak jelas siapa yang mereka maksud dengan "lokal", penduduk Baloch atau warga Pakistan dari tempat lain di negara itu. Pihak berwenang juga tidak menjelaskan lebih lanjut.
Ada anggapan bahwa Gwadar berbahaya atau sulit dikunjungi, hanya satu rute komersial yang beroperasi dari bandara domestiknya, tiga kali seminggu ke Karachi, kota terbesar di Pakistan.
Tidak ada penerbangan langsung ke ibu kota provinsi Balochistan, Quetta, atau ibu kota nasional, Islamabad.
Masalah keamanan menjadi salah satu faktor penyebab peresmian ditunda di bandara internasional tersebut. Ada kekhawatiran bahwa pegunungan di daerah tersebut, dan kedekatannya dengan bandara dapat menjadi landasan peluncuran yang ideal untuk sebuah serangan.
Sebaliknya, PM Shehbaz Sharif dan mitranya dari Tiongkok, Li Qiang, menyelenggarakan upacara virtual. Penerbangan perdana tersebut tidak dapat disaksikan oleh media dan publik.
