Resesi Seks Kian Parah, Populasi Jepang Menyusut 900 Ribu-Jumlah WNA Naik
- pensionpolicyinternational
Tokyo, VIVA – Jepang kembali mencatat penurunan jumlah penduduk, melanjutkan tren penurunan yang telah berlangsung selama 16 tahun berturut-turut.
Kementerian Dalam Negeri Jepang melaporkan bahwa hingga 1 Januari 2025, jumlah penduduk Jepang turun sekitar 554.500 orang atau 0,44 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi total 124,33 juta jiwa.
Dari jumlah tersebut, warga negara Jepang tercatat sebanyak 120,65 juta, mengalami penurunan drastis sebanyak 908.600 orang atau 0,75 persen. Ini merupakan angka penurunan tahunan terbesar sejak pemerintah mulai mencatat data populasi pada 1968.
Penurunan ini juga memperpanjang tren menyusutnya jumlah warga Jepang sejak mencapai puncak populasi lebih dari 127 juta pada tahun 2009.
Tokyo, Jepang
Sebaliknya, jumlah warga negara asing yang tinggal di Jepang justru mengalami lonjakan. Tercatat sebanyak 3,68 juta orang asing menetap di Negeri Sakura, meningkat sekitar 354.100 dari tahun sebelumnya.
Angka ini menjadi yang tertinggi sejak pencatatan warga negara asing dimulai pada 2013.
Secara geografis, Tokyo tetap menjadi wilayah dengan populasi terbanyak, yaitu sekitar 14 juta jiwa, diikuti Prefektur Kanagawa dengan 9,2 juta jiwa, dan Prefektur Osaka 8,8 juta jiwa. Sementara itu, Prefektur Tottori menjadi wilayah dengan populasi paling sedikit, hanya sekitar 534.000 jiwa, disusul Shimane (642.600) dan Kochi (665.000).
Menariknya, hanya Tokyo dan Chiba yang mencatat pertumbuhan populasi tahunan, sementara 45 prefektur lainnya mengalami penurunan.
Fenomena resesi seks di Jepang menjadi tantangan serius bagi pemerintah Jepang di tengah upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial di tengah krisis demografi yang kian dalam.
Survei Raison d'Etre, yang berbasis di Shinjuku Tokyo menemukan fakta ahwa lebih dari 68 persen pasangan suami istri di negara tersebut tidak melakukan kontak seksual.
Faktor ekonomi dianggap sebagai pemicu utama resesi seks di Jepang kian mengkhawatirkan. Biaya hidup mahal dan kultur kerja yang gila-gilaan menjadi alasan anak-anak muda di Jepang menolak menikah dan memiliki keturunan, karena harus bekerja keras untuk membiayai istri dan anaknya.Â