Kisah Anak-anak Raja Ampat Papua Arungi Laut Demi Lawan Kemiskinan

- bbc
Hingga 2019, hanya terdapat 109 SD dan 36 SMP di seluruh Raja Ampat. Padahal di kabupaten itu terdapat 170 kampung.
Menurut Bambang Purwoko, akademisi UGM yang puluhan tahun meneliti isu pendidikan Papua, kondisi itu miris. Alasannya, kata dia, Papua Barat dan Papua memiliki sumber anggaran besar, salah satunya dari dana otonomi khusus (otsus).
"Permasalahan yang terus ada, wilayah permukiman yang tersebar disebut menyulitkan pemda membangun fasilitas pendidikan yang dekat permukiman,"ujar Bambang.
"Papua kan punya dana otsus yang sangat besar. Selama ini kita belum melihat sejauh mana alokasi itu bisa meningkatkan akses dan ketersediaan pendidikan, termasuk di Raja Ampat," tuturnya.
Namun Kepala Dinas Pendidikan Raja Ampat, Juariah Saifuddin, menyebut institusinya tidak mendapat jatah anggaran yang berlimpah.
Dana yang mereka pegang pun belakangan lebih difokuskan untuk pengadaan sarana belajar seperti alat olahraga, komputer, serta pembangunan rumah guru.
"Bagaimana membangun SMP di setiap kampung kalau di banyak SD siswa kelas enam maksimal hanya 20 orang?" kata Juariah.
"Ada keterbatasan anggaran, kalaupun kami ajukan sebanyak-banyaknya, tidak akan diakomodir secara keseluruhan," ucapnya.
Perbandingan akses pendidikan Raja Ampat dulu dan sekarang, dipaparkan Benyamin Fiyai, guru SMP 47 Samate. Seperti Felix dan sebagian muridnya, ia dulu juga harus mengarungi laut demi pendidikan.
Benyamin berkata, ia wajib mengikuti ujian akhir SD di Kabare, wilayah yang berjarak lima jam perjalanan laut dari kampungnya di Dorehkar.
Kala itu, kata Benyamin, pemerintahan Raja Ampat belum membuat program pendidikan dasar gratis. Karena ayahnya merupakan tenaga medis berstatus pegawai negeri sipil, nasib Benyamin lebih baik ketimbang kawan-kawan seusianya.
Saat SMP, Benyamin merantau ke Kabare yang berada di Pulau Waigeo, satu dari empat pulau terbesar di Raja Ampat.