Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah dan DPR Setop Pembahasan Revisi UU TNI

Ilustrasi. DPR RI akan menggelar rapat paripurna DPR RI
Sumber :
  • Antara

Jakarta, VIVA – DPR berencana akan membahas revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dalam waktu dekat. Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk membahas Rancangan Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). 

Soroti Penghentian Aktivitas Sekolah di Kawasan Konservasi, DPR: Anak-anak jadi Korban Kebijakan Tambal Sulam

Namun rencana DPR ini banyak menuai kritik, terutama dari Koalisi Masyarakat Sipil. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya mengatakan, dalam draft yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat beberapa masalah krusial terutama kembali dihidupkannya Dwifungsi TNI.

“Koalisi masyarakat sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, Berdasarkan draft revisi UU TNI yang diperoleh oleh masyarakat sipil terdapat usulan-usulan perubahan yang problematik,” kata Dimas dalam keterangannya,” Jumat, 7 Maret 2025

DPR-Pemerintah Sepakat Penghinaan Presiden dan Wapres Bisa Pakai Restorative Justice

Ilustrasi TNI

Photo :
  • vstory

Usulan yang dinilai Problematik yang Pertama, yaitu mengenai perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Usulan ini menjadi isu yang sangat kontroversial karena hal ini dapat mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. 

DPR Harap Polri Menginspirasi Kementerian dan Lembaga Lain dalam Ketahanan Pangan

Hal ini, kata Dimans, dapat dilihat dalam usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI yang mengusulkan penambahan frasa ‘serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden’. Penambahan frasa tersebut sangat berbahaya karena memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif.

“Dengan adanya frasa ini, peluang interpretasi yang lebih longgar terbuka, sehingga memungkinkan penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian atau lembaga lain di luar yang telah diatur sebelumnya. Hal ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan dapat mengarah pada dominasi militer dalam ranah birokrasi sipil,” kata Dimas.

Usulan problematik yang Kedua, yaitu mengenai penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI. 

Dimas mengatakan, Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis. Menurutnya, Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara. 

“Pada titik ini, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu,” kata Dimas

Usulan selanjutnya yang juga kontroversial yakni mengenai perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum. Usulan ini dinilai bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998. 

“Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI,” kata Dimas

“Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” sambungnya.

Ilustrasi Prajurit TNI.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Rahmad

Dimas mengatakan, dengan adanya sejumlah usulan problematik tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Pemerintah dan DPR berhenti membahas revisi UU TNI. “Kami mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI,” kata Dimas

Sebagai lembaga perwakilan rakyat, lanjutnya, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat.

Lebih baik, kata Dimas, DPR dan Pemerintah memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang tertunda. Seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI. 

“Kami juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif, menolak segala intervensi dan lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia,” ujarnya

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya