Polri Siap Adaptasi Putusan MK soal UU ITE
- dok Polri
Jakarta, VIVA – Korps Bhayangkara mengaku bakal beradaptasi dengan pasal-pasal karet yang dikoreksi Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), soal unsur-unsur pencemaran nama baik.
"Tentu Polri akan beradaptasi atau menyesuaikan serta tunduk pada putusan MK yang merupakan aturan berlaku, untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, Selasa, 30 Mei 2025.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan dua permohonan uji materiil mengenai Undang-undang Informasi Transaksi Elektonik (ITE). Gugatan tersebut dilayangkan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan dengan nomor perkara: 105/PUU-XXII/2024, dan Jovi Andrea Bachtiar dengan nomor perkara: 155/PUU-XXII/2024.
Pemohon pertama, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, menggugat Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU No 1 tahun 2024.
MK menyatakan ketentuan dalam Pasal 27A dan Pasal 45 Ayat (4) UU ITE tidak berlaku untuk lembaga pemerintah, institusi, profesi, korporasi, jabatan, serta kelompok yang memiliki identitas tertentu.
MK menegaskan bahwa frasa 'orang lain' dalam Pasal 27A dan Pasal 45 Ayat (4) UU ITE harus dimaknai sebagai individu atau perseorangan.
Diketahui, Pasal 27A sebelumnya berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik”.
Sedangkan, Pasal 45 Ayat (4) berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 400.000.000”.
Sementara, Pasal 28 Ayat (2) sebelumnya berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik”.
Lalu, Pasal 45A Ayat (2) berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000”.
Sedangkan pemohon kedua, Jovi Andrea Bachtiar meminta MK untuk mengubah sejumlah pasal dalam UU ITE dan KUHP. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 310 Ayat (3) KUHP, Pasal 27 Ayat (1) UU ITE 2024, Pasal 28 Ayat (3), Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2) Huruf a, Pasal 45 Ayat (7), dan Pasal 45A Ayat (3).
Dalam permohonannya, Jovi menyebut pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.
MK dalam putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari Jovi tersebut, yaitu terkait dengan Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 45A Ayat (3) UU ITE yang semula berbunyi sebagai berikut.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan kata 'kerusuhan' dalam Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 45A Ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber'.
Diketahui, Pasal 28 Ayat (3) UU ITE sebelumnya berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat."
Sedangkan Pasal 45A Ayat (3) UU ITE berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00."
MK juga menyatakan permohonan pemohon sepanjang frasa 'dilakukan demi kepentingan umum' dalam Pasal 45 Ayat (2) huruf a UU 1/2024 serta frasa 'melanggar kesusilaan' dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (1) UU 1/2024 tidak dapat diterima.
Pasal 45 Ayat (2) huruf a UU ITE berbunyi: "Perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dipidana dalam hal: a. dilakukan demi kepentingan umum;"
Pasal 27 Ayat (1) berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Sedangkan Pasal 45 Ayat (1) berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00."