Akademisi Kritik RUU KUHAP Batasi Interaksi Jaksa dan Penyidik
- Freepik
VIVA – Polemik terkait Rancangan Undang-Undang KUHAP yang sedang dibahas DPR terus bergulir. Klausa yang mengatur interaksi antara jaksa dan penyidik yang hanya berjumlah satu kali pun tidak luput dari kritikan. Pengaturan ini dinilai berpotensi menciderai keadilan.
“Tanpa kontrol yudisial dan kepastian perlindungan terhadap warga negara, hukum acara pidana hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang berpotensi represif dan menciderai keadilan,” tegas pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Nurini Aprilianda dalam seminar bertajuk “Critical Review atas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2025” di Gedung FH UB, Jumat, 16 Mei 2025.
Nurini, yang merupakan ketua tim penyusun DIM RUU KUHAP dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini, mengatakan semestinya kejaksaan telah dilibatkan sejak awal proses penyidikan. Langkah tersebut dipercaya dapat memastikan proses penyidikan tidak sia-sia. Sayangnya, menurut dia, Pasal 24-26 RUU KUHAP justru membatasi interaksi antara jaksa dan penyidik.
“Usulan kami itu adalah menegaskan kembali peran jaksa sejak awal, Jadi jaksa ini harus diberikan satu posisi resmi dan aktif dari tahap penyidikan. Untuk apa? Ya, untuk bisa melakukan monitoring legalitas dari upaya paksa. Kemudian menilai kecukupan bukti lebih dini,” ujarnya.
Lebih jauh, Nurini berpendapat keterlibatan kejaksaan dalam penyidikan juga mendorong efisiensi dan keadilan penanganan perkara yang terarah serta membangun mekanisme check and balances. Hubungan antara jaksa dan penyidik, ditegaskannya, harus bersifat saling kontrol, bukan dominasi secara sepihak.
“Jadi mekanisme ini bisa berbentuk koordinasi. Dan wajibnya di antara penyidik dengan jaksa. Dan, kemudian kewenangan jaksa menghentikan penyidikan apabila ditemukan misalnya ada pelanggaran hukum di dalamnya. Kemudian ada penyusunan standar operasional prosedur bersama antara kepolisian dengan kejaksaan. Nah, tanpa penguatan prinsip dominus litis ini, ya kita memosisikan atau memberikan peran terhadap jaksa sejak awal,” kata dia.
Seminar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
- istimewa
Nurini menilai, tanpa adanya revisi draft RUU KUHAP maka proses hukum menjadi rentan terhadap penyalahgunaan wewenang, ketidakpastian hukum, dan minimnya akuntabilitas dalam penyidikan untuk menciptakan peradilan pidana yang terbuka, berimbang, dan akuntabel.
“Dan ini (pembatasan) tidak mencerminkan kerjasama yang berkelanjutan. Seharusnya bergantung pada kompleksitas dari pembuktian perkara. Dalam praktek ideal, jaksa harus aktif sejak awal penyidikan, jadi dia memainkan peran betul sebagai dominus litis tadi agar bisa memberikan masukan, menjamin kelengkapan alat bukti, kemudian mencegah penyidikan yang tidak sah atau tidak perlu,” paparnya.
Dirinya menambahkan RUU KUHAP masih minim perhatian terkait penguatan pengawasan penyidikan. Dalam draf yang ada, pengawasan terhadap penyidikan hanya dilakukan oleh atasan penyidik. Menurut Nurini, model pengawasan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan. ”Tidak ada mekanisme eksternal atau independen yang dapat menilai apakah penyidikan itu dilakukan secara adil, sah, dan proporsional. Idealnya mestinya pengawasan penyidikan ini harus melibatkan lembaga judicial atau otoritas independensi agar proses berjalan dengan objektif,” imbuhnya.
Pembicara lainnya, akademisi FH Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson berpendapat pembatasan interaksi antara penyidik dan jaksa hanya satu kali dalam setiap perkara adalah kebijakan yang keliru dan tidak realistis. Dalam praktiknya, penuntut umum memiliki fungsi strategis yang seharusnya terlibat sejak awal proses penyidikan untuk menjamin bahwa setiap perkara berjalan sah, adil, dan proporsional.