Sidang Perundungan Dokter PPDS Undip, Muncul Fakta Persidangan Adanya Intimidasi
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Sidang kasus dugaan perundungan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) berlanjut. Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Muhammad Nasser yang memantau persidangan tersebut secara langsung, menilai dalam persidangan muncul dugaan adanya skenario memojokkan tiga tersangka.
Salah satunya, intimidasi dari saksi yang merupakan Ketua Tim Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk Univesitas Diponegoro (Undip) Pamong Nainggolan terhadap tujuh dokter PPDS.Â
Sidang kasus dugaan perundungan PPDS dengan agenda pemeriksaan saksi digelar di Pengadilan Negeri Semarang pada Rabu 4 Juni. Tiga terdakwa dijerat dengan Pasal 378 tentang Penipuan, Pasal 368 tentang Pemerasan dan Pasal 335 tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Ketiga terdakwa yakni, Kepala Program Studi PPDS Anestesiologi Undip Taufik Eko Nugroho, Anggota Staf Administrasi PPDS Undip Sri Maryani, dan Mahasiswa PPDS Undip Zara Yupita.
Tiga tersangka kasus PPDS Undip dilimpahkan ke Kejari Kota Semarang
- Didiet Cordiaz-tvOne
Nasser menuturkan bahwa ada banyak hal baru yang terungkap dalam persidangan ini. Hal-hal itu yang membuka mata publik bahwa peristiwa ini ternyata tidak sederhana, melainkan ada dugaan adanya sebuah skenario yang terencana.
"Dugaan ini terungkap dari beberapa pertanyaan penasehat hukum terhadap saksi yang dihadirkan jaksa," paparnya.
Menurutnya, dari saksi fakta yang hadir ada beberapa fakta hukum yang tidak dapat dijawab dengan baik. Sehingga, menimbulkan pertanyaan lanjut dari pengacara.
"Salah satunya saksi fakta Pamong Nainggolan, yang merupakan Inspektor Kemenkes sekaligus Ketua Tim Kemenkes untuk Kasus Undip," ujarnya.
Pamong sebagai saksi fakta ini sempat ditanya salah seorang pengacara, misalnya soal fakta dalam berita acara perkara (BAP) tanggal 27 Oktober 2024 di ruangan Kasubdit 4 Dirkrimum Polda Jateng. Pengacara dalam persidangan bertanya soal adanya intimidasi terhadap tujuh mahasiswa PPDS penerima bantuan Kemenkes untuk melaporkan para dosennya.
Tujuh mahasiswa yang diintimidasi yakni, dr. Chandra Ritiana, dr. Novi Atari Utami, dr. Edo Putra Priantomo, dr Khalika Firdaus, dr. Nur Muhammad Ardjanadi, dan dr Ferdy Fikriadi.
"Mereka diancam agar mau melaporkan dosennya yang seolah-olah telah membiarkan telah terjadi perundungan di Departemen Anestesi Undip," terangnya.Â
Fakta persidangan yang memperkuat adanya skenario sekaligus intimidasi adalah rekaman suara Pamong yang sempat mengancam dr. Novi Atari Utami, salah seorang dari tujuh dokter PPDS yang mendapat intimidasi untuk melapor dan akhirnya mencabut laporan.
"Dalam rekaman itu terdengar ada suara Pamong yang mengancam mempersulit pendidikan dan masa depan dr. Novi bila mencabut laporan polisi yang sudah dibuat," tegasnya.Â
Karena itulah, Penasehat Hukum Undip sempat menanyakan kepada Pamong, apakah fakta ini menunjukan bahwa Kemenkes mencoba mengintervensi kemandirian penyidik Polri. Sekaligus apakah ini dapat dianggap sebagai memenuhi permintaan pejabat utama Kemenkes untuk melakukan kriminalisasi terhadap dokter di Undip.
"Namun, justru tidak dijawab dengan jelas oleh Pamong," ujarnya.Â
Yang janggal, lanjutnya, laporan ini tidak dilakukan seperti seharusnya di Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Tapi di ruangan Kasubdit 4 Dirkrimum. "Syukurlah besok harinya 28 Oktober 2024, ramai-ramai para dokter residen ini mencabut laporan tersebut, sehingga memaksa Pamong membuat sendiri laporan tersebut," ujarnya.
Nasser menuturkan, salah seorang pengacara Moh. Soleh juga sempat bertanya kepada Pamong bahwa diketahui almarhumah dr. Aulia Risma Lestrai selama pendidikan belum pernah membayar biaya operasional yang menjadi dasar penetapan Pasal 368 KUHP dan 378 KUHP.
"Sebagai pelapor bagaimana posisi Bapak mewakili almarhumah, padahal almarhumah tidak ada kerugian. Sebab, sejak awal sampai meninggal beliau belum membayar biaya yg dipersoalkan ini? Pamong nyaris tidak bisa menjawab pertanyaan ini," ujarnya.
Menurutnya, ada fakta persidangan lain yang merupakan hal baru bagi publik. Yakni, obat yang digunakan almarhum dr. Aulia berupa rocuronium, yakni obat injeksi jenis strong muscle relaxant dan seharusnya hanya digunakan di kamar operasi.
"Pengacara Soleh menyebut obat ini dapat melumpuhkan semua otot kecuali otot jantung, sehingga orang bisa meninggal karena mati lemas atau axpixia. Nah, Penyidik kepolisian menemukan fakta hukum bahwa ini bukan bunuh diri tapi kemungkinan besar kecelakaan yakni kelebihan dosis recoronium," ujarnya.
Nasser mengatakan, Soleh yang merupakan pengacara Perdatin lantas bertanya mengapa Pamong sebagai saksi pelapor sekaligus inspektor Kementerian Kesehatan tidak meluruskan pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di media-media tentang penyebab kematian dr Aulia. Serta, tidak melakukan koreksi terhadap surat Dirjen Yankes No 44147 tgl 14 Agustus 2024 yang menyatakan dr Aulia bunuh diri.
"Sayangnya, Pamong sebagai saksi fakta tidak dapat menjawab pertanyaan kuasa hukum. Akhirnya, pengacara berkesimpulan Pamong membiarkan dan tidak mengkoreksi membuat Menkes menyampaikan berita bohong," jelasnya.Â
Dia berharap masyarakat dapat mengawal kembali persidangan tersebut. Sehingga, sidang bisa memberikan putusan yang seadil-adilnya.