Sidang Hasto, Penyadapan KPK Tanpa Izin Dewas Jadi Sorotan

Dua saksi ahli dihadirkan dalam sidang Hasto Kristiyanto
Sumber :
  • VIVA/Zendy Pradana

Jakarta, VIVA – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan, hasil penyadapan menjadi tidak sah sebagai alat bukti bila diperoleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa seizin Dewan Pengawas (Dewas). 

Legislator Rizki Faisal Usul Pimpinan Komisi III Gelar RDP Bahas Keseriusan Penanganan Perkara di Kejaksaan hingga KPK

Hal ini disampaikan Fatahillah saat dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi ahli dalam sidang kasus dugaan suap PAW DPR dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku yang menjerat Sekertaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto.  

Kemudian, Fatahillah mengatakan tidak sahnya hasil penyadapan berlaku jika diperoleh dalam kurun waktu di bawah periode 2021 atau tepatnya setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 yang mengatur perihal penyadapan diubah harus seizin Dewas.

Naikkan PBB-P2 250 Persen dan Disebut KPK Diduga Terima Dana Kasus DJKA, Segini Harta Kekayaan Bupati Pati Sudewo

Sidang Lanjutan Hasto Kristiyanto di Kasus Korupsi dan Suap

Photo :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

"Berarti setelah putusan MA, ke depan, engga perlu lagi penyadapan KPK izin Dewas begitu ya?" tanya kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis 5 Juni 2025 malam.

KPK Bongkar 'Dosa' Bupati Pati Sudewo, Diduga Terima Suap Kasus DJKA

"Tapi perlu memberitahukan," jawab Fatahillah.

Fatahillah menuturkan jika hasil penyadapan diperoleh sebelum MK membatalkan undang-undang tersebut, maka, penyidik mesti mengantongi izin.

"Ya seharusnya mendapatkan izin ya," kata Fatahillah menjelaskan. "Kalau tidak ada izin Dewas sah engga bukti penyadapan itu?" tanya Febri menimpali.

"Mungkin dalam konteks ini kalo tidak menggunakan izin tersebut ya tidak sah," jawab Fatahillah. 

Lanjut Fatahillah, penyidik KPK mesti tunduk dengan aturan yang mengatur proses penyadapan. Hal ini diperlukan supaya alat bukti yang diperoleh bisa digunakan secara sah. 

"Tadi kan disebut KPK berwenang melakukan penyadapan di tahap penyelidikan, penuntutan, dan seterusnya. Kalau penyelidikannya dilakukan sejak tanggal 20 Desember tahun 2019. Sementara undang-undang 19 ini diundangkan pada 17 Oktober 2019, artinya sebelumnya. Wajib tunduk engga proses penyadapan yang dimulai di penyelidikan 20 Desember dengan undang undang ini, undang-undang KPK?" cecar Febri. 

"Ya kalau dia dimulainya setelah undang-undang KPK, ya tunduk," kata Fatahillah.

Dalam sidang ini, Fatahillah menyampaikan bahwa perolehan alat bukti harus dilihat justifikasi atau alasan atau dasar hukum yang sah dan dapat diterima.

Dia menjelaskan, jika tak ada justifikasi terhadap alat bukti maka tidak bisa digunakan dalam proses persiangan.

"Kalo tidak ya berarti alat buktinya tidak bisa dipakai atau ada hal yang memang tidak bisa digunakan dalam persidangan. Tapi kalo ada justifikasinya dia bisa tetap dilanjutkan dalam proses persidangan," kata Fatahillah. 

Namun demikian, ahli dari UGM ini menyerahkan seluruhnya kepada majelis hakim untuk menentukan keabsahan dari alat bukti tersebut.

"Makanya dalam konteks ini, dalam praktek Indonesia konsep Exclusionary rules itu kan belum digunakan secara pasti ya, jadi diserahkan kepada majelis hakim untuk menilai kekuatan pembuktian dan keabsahan alat bukti dalam setiap alat bukti," kata Fatahillah. 

"Kalau betul-betul tidak ada justifikasi sesuai pendapat saya tadi, tidak bisa digunakan," imbuhnya.

Dalam persidangan Hasto, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan sejumlah penyidik KPK menjadi saksi. Salah satunya, penyidik yang menangani kasus Harun Masiku yakni Rossa Purbo Bekti.

Dalam perkara dugaan suap, Hasto didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020.  

Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.  

Selain itu, Hasto turut didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.

Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.  

Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya