Royalti 2 Persen di Pernikahan Dinilai Salah Kaprah dan Bisa Rugikan Industri Event

Ketum Backstagers Indonesia Event Management Association, Andro Rohmana.
Sumber :
  • Dok. Istimewa

Jakarta, VIVA – Kritik keras diberikan terhadap wacana penerapan royalti 2 persen pada acara pernikahan. Kebijakan itu dinilai keliru besar dan berpotensi merugikan masyarakat sekaligus menghambat pertumbuhan industri event management di Indonesia.

Ramai Polemik soal Royalti, Berikut Lirik Lagu 'Tanah Airku' yang Kerap Dinyanyikan Suporter dan Pemain Timnas Indonesia

"Ini adalah salah kaprah besar yang harus segera diluruskan. Pernikahan bukan konser musik komersial, dan penerapan royalti 2% pada acara personal seperti pernikahan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, jadi tolong sudahi akrobat-akrobat nya," kata Ketua Umum Backstagers Indonesia Event Management Association, Andro Rohmana, Kamis, 14 Agustus 2025.

Menurut Andro, industri event global diproyeksikan bernilai USD 1,76 triliun pada 2029. Namun, peluang itu bisa terancam jika kebijakan yang tidak tepat sasaran terus dipaksakan. Ia menilai masyarakat sudah terlanjur bingung akibat narasi yang memicu kegaduhan tanpa penjelasan regulasi yang jelas.

Pemain Timnas Indonesia U-17 Nyanyikan Lagu Tanah Airku di Piala Kemerdekaan, Netizen: Kena Royalti Nggak?

Andro menjelaskan, industri event di Indonesia punya sub-sektor berbeda yang tidak bisa disamaratakan. "Kami melihat adanya kesalahpahaman fundamental mengenai ekosistem industri event management di Indonesia. Event organizer yang menangani acara korporasi berbeda dengan promotor konser musik, dan keduanya berbeda pula dengan wedding organizer yang fokus pada perayaan pernikahan," ujarnya.

Perbedaan ini, lanjutnya, punya implikasi hukum yang signifikan dalam penerapan royalti. Menyamakan semua acara dengan 'konser musik' menurutnya menunjukkan minimnya pemahaman terhadap kompleksitas industri event di Tanah Air.

Ahmad Dhani Sindir WAMI: Keras ke Kafe, tapi Tumpul ke Penyanyi dalam Urusan Royalti

Backstagers Indonesia memaparkan bahwa regulasi yang ada tidak mencakup acara privat seperti pernikahan. Dia merinci, PP Nomor 56 Tahun 2021 mengatur 'layanan publik bersifat komersial' tanpa menyebut acara privat.

Kemudian, SK Menkumham No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 memuat tarif royalti untuk berbagai kegiatan, tapi bukan pernikahan. Lalu, SK LMKN No. 20160512KM/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016 hanya mengatur konser musik berbayar dan gratis.bAndro menilai, klaim Wahana Musik Indonesia (WAMI) yang menyebut pemutaran musik di pernikahan wajib royalti 2 persen adalah keliru.

"Penegasan Wahana Musik Indonesia (WAMI) tentang pemutaran atau penampilan musik di acara pernikahan dibebani biaya royalti sebesar 2% dari biaya produksi musik, sangatlah tidak tepat… Dimanapun undangan pernikahan selalu dimaknai pernikahan, ketika ada hiburan di dalamnya, kemudian dilakukan interpretasi sendiri oleh WAMI sebagai acara konser adalah salah kaprah dan berpotensi merugikan masyarakat," kata dia.

Lebih lanjut dia mengatakan, praktik luuar negeri lebih proporsional. Ia mencontohkan praktik di negara lain semisal Australia dimana pernikahan pribadi bebas lisensi musik publik. Kemudian Inggris, lisensi hanya untuk bisnis komersial, bukan acara keluarga.

Selanjutnya Jepang, pernikahan diatur terpisah dari konser publik. Alternatif di Indonesia, kata Andro, bisa dengan membebankan lisensi pada venue atau memasukkannya dalam kontrak promotor.

"Kami memahami pentingnya perlindungan hak cipta dan penghargaan terhadap karya musik. Namun, kebijakan pemungutan royalti harus proporsional, berbasis regulasi, dan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang tak menentu, langkah yang keliru dalam penerapan royalti dapat meredam pertumbuhan industri kreatif itu sendiri," kata dia lagi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya