Terima Aduan Tiga Desa di Ketapang soal Sengketa Lahan, DPR Bakal Panggil Perusahaan dan ATR/BPN
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Gerindra, Habiburokhman menegaskan bahwa komisi yang dipimpinnya akan melindungi setiap pihak yang datang menyampaikan keluhan maupun aspirasinya. Hal ini disampaikan usai menerima aduan dari tiga desa di Kabupaten Ketapang.
Dan dalam kesimpulan sidang, ia pun menyampaikan bahwa Komisi III melalui Panja Mafia Tanah akan memanggil perwakilan pimpinan dan direksi PT BAL, PT SNP, PT PTS, serta Kanwil ATR/BPN Kalimantan Barat dan Kepala Kantor BPN Kabupaten Ketapang, terkait permasalahan sengketa lahan adat di Desa Pelanjau Jaya dan Desa Suka Karya di Kecamatan Marau serta Desa Teluk Bayur di Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat.
Sebagai informasi, perwakilan masyarakat dari tiga desa di Kabupaten Ketapang, yaitu Desa Teluk Bayur, Desa Pelanjau Jaya, dan Desa Suka Karya, menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Gedung DPR RI bersama Komisi III. Pertemuan ini membahas persoalan sengketa lahan yang sudah lama dihadapi masyarakat dengan sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Dalam forum tersebut, Yudi Rijali Muslim selaku kuasa hukum dari tiga desa menyampaikan, empat pokok permasalahan utama, yakni lahan konflik berada dalam wilayah HGU, namun masyarakat tidak pernah menerima kompensasi yang layak.
Kemudian perusahaan melakukan penggarapan lahan di luar batas HGU, sesuai data dan peta resmi Bhumi ATR/BPN. Ketiga, ada indikasi skenario terencana dalam pembentukan manajemen berbasis koperasi yang merugikan masyarakat dan terakhir perusahaan tidak pernah memenuhi kewajiban plasma 20 persen bagi masyarakat sekitar.
Disebutkan, perusahaan yang bermasalah dengan masyarakat adalah PT BAL dan PT SNP yang merupakan anak perusahaan Minamas Group (Malaysia), serta PT PTS yang merupakan anak perusahaan Global Palm (Singapura).
Kepala Desa Teluk Bayur juga turut menyampaikan keluhannya di hadapan Komisi III DPR RI. Ia menegaskan bahwa perusahaan yang beroperasi di wilayah Teluk Bayur tidak pernah memberikan kontribusi nyata kepada desa.
"Selama ini perusahaan hanya membuat resah. Tidak ada CSR yang diberikan ke desa, tidak ada penyerahan lahan 6 hektar yang seharusnya menjadi hak desa, dan mereka tidak pernah menghormati adat istiadat masyarakat Teluk Bayur,” katanya.
