AS Keluhkan QRIS, MPR: Visa dan Master Masuk Saja, tapi Harus Bersaing

Ilustrasi pembayaran QRIS.
Sumber :
  • qris.id

Jakarta, VIVA – Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno mempersilakan jika operator luar negeri seperti Visa dan Master masuk sistem gerbang pembayaran (gateway) Indonesia. Namun, harus bersaing dengan sistem pembayaran yang dimiliki oleh Indonesia seperti Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Gandeng DMI, Kini Nasabah BTN Bisa Infaq di Masjid Lewat QRIS

"Jadi saya kira kalaupun gateway pembayaran seperti misalkan saja visa atau master yang mau masuk, masuk aja ke sektor ini, nggak apa-apa, bersaing tapi," kata Eddy kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 28 April 2025.

"Saya kira kesempatan ini dibuka seluas-luasnya. Setelah itu biarlah para pelaku usaha berkompetisi secara fair," sambungnya.

Impor Migas dari AS Bakal Ditambah, Pertamina Minta Dukungan Ini dari Pemerintah

Eddy menjelaskan bahwa sebuah negara harus memiliki teknologi untuk memudahkan sektor usaha yang ada. Termasuk Indonesia memiliki sistem pembayaran berupa QRIS yang sudah masuk ke sektor UMKM.

Ilustrasi QRIS

Photo :
Pesawat Mewah dari Qatar Senilai Rp 6,5 Triliun untuk Presiden AS Sudah Mendarat di Bandara Texas

"Sebuah negara perlu memiliki teknologi untuk menjalankan berbagai upaya kegiatan yang memudahkan sektor usaha yang ada. Di dalam sektor pembayaran, QRIS itu memudahkan. Bahkan QRIS itu pun sekarang sudah merambah sampai UMKM," kata dia.

Ia mengatakan bahwa negara lain pun pasti memiliki sistem pembayaran sendiri. Ia berharap jika operator luar negeri masuk ke dalam sistem pembayaran di Indonesia, dapat bersaing secara sehat dan terbuka.

Eddy juga meminta pemerintah tak memberikan pelayanan khusus kepada sistem QRIS jika memang operator luar negeri ingin bersaing.

"Saya kira kita pun di negara-negara lain bersaing kok dengan sistem pembayaran atau dengan produk dan jasa lainnya. Jadi saya kira persaingan ini bisa terbuka dan tidak ada dalam hal ini kelonggaran atau kekhususan dispensasi atau prioritas yang diberikan oleh pemerintah kepada QRIS dibandingkan dengan sistem pembayaran lainnya," ujar dia.

Sebelumnya, berdasarkan dokumen Foreign Trade Barriers yang dikeluarkan oleh United States Trade Representative (USTR) yang dirilis pada akhir Maret salah satu sorotannya yaitu Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mewajibkan seluruh debit ritel domestik dan transaksi kredit yang akan diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin oleh BI.

"Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen pada perusahaan yang ingin memperoleh pengalihan lisensi untuk berpartisipasi dalam NPG, melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit ritel domestik," tulis USTR.

Dalam peraturan BI itu, mengamanatkan bahwa perusahaan asing harus membentuk perjanjian kemitraan dengan penyelenggara GPN berlisensi di Indonesia untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN. 

Menurutnya, BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut membuat persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi.

Selain itu, USTR juga menyoroti peraturan BI No. 21 Tahun 2019, yang menetapkan standar nasional untuk sistem pembayaran berbasis kode QR atau QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), dan mewajibkan penggunaannya untuk seluruh pembayaran berbasis QR di Indonesia turut menjadi sorotan Pemerintah AS.

Perusahaan-perusahaan asal AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, menyatakan kekhawatirannya karena para pemangku kepentingan internasional tidak dilibatkan secara memadai dalam proses perumusan kebijakan ini. 

Menurut mereka tidak adanya pemberitahuan mengenai potensi perubahan kebijakan, serta tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan terkait desain sistem dan bagaimana seharusnya sistem tersebut berinteraksi dengan infrastruktur pembayaran yang telah ada.

"Perusahaan-perusahaan pembayaran AS khawatir bahwa kebijakan baru ini akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS," tulis USTR.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya