Driver Ojol: Tuntutan Kami Potongan Aplikasi 10 Persen, Bukan Kenaikan Tarif
- ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Jakarta, VIVA – Rencana kenaikan tarif ojek online (ojol) sebesar 8 hingga 15 persen yang diusulkan Kementerian Perhubungan dalam Rapat Kerja bersama Komisi V DPR RI menuai kritik keras dari asosiasi pengemudi ojek online.
Asosiasi Pengemudi Ojek Online Garda Indonesia menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut karena dinilai belum melalui kajian menyeluruh dan berpotensi menimbulkan dampak ekonomi luas.
Kenaikan tarif ini pertama kali disampaikan oleh Wakil Menteri Perhubungan Irjen Pol (Purn) Suntana dalam rapat yang digelar pada 30 Juni 2025. Rencananya, tarif baru akan diberlakukan secara zonasi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019.
Garda Indonesia menilai kebijakan tersebut berisiko menciptakan beban tambahan bagi pelanggan dan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang bergantung pada jasa transportasi online.
Ketua Presidium Nasional Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), Igun Wicaksono.
- VIVA.co.id/Misrohatun Hasanah
"Kami menilai rencana tersebut perlu dikaji ulang secara lebih mendalam karena akan berdampak langsung tidak hanya kepada pengemudi, tetapi juga pelanggan dan pelaku UMKM yang tergabung dalam ekosistem transportasi online," kata Ketua Presidium Garda Indonesia, Igun Wicaksono dalam pernyataan tertulis, Selasa, 1 Juli 2025
Alih-alih mendorong kenaikan tarif, Garda Indonesia menegaskan bahwa tuntutan utama para pengemudi adalah penurunan potongan biaya aplikasi yang selama ini dianggap mencekik. Mereka meminta agar potongan maksimal diturunkan menjadi 10 persen dari total pendapatan pengemudi.
"Tuntutan utama kami adalah 'Penurunan potongan biaya aplikasi menjadi maksimal 10%', bukan kenaikan tarif. Permintaan ini lebih tepat karena hanya berdampak kepada perusahaan aplikasi dan pengemudi, tanpa membebani pelanggan. Sementara itu, jika tarif dinaikkan lebih dulu, akan timbul dampak domino berupa beban ekonomi, inflasi, dan penurunan daya beli pelanggan," jelasnya
Garda Indonesia juga menyayangkan bahwa proses penyusunan kebijakan tarif selama ini cenderung hanya melibatkan pihak perusahaan aplikasi atau kelompok pengemudi binaan. Mereka menilai Kementerian Perhubungan belum membuka ruang dialog yang adil terhadap asosiasi yang mewakili suara mayoritas pengemudi independen.
"Kami menolak keras rencana kenaikan tarif ojol, kecuali telah dilakukan kajian terbuka dan survei menyeluruh yang melibatkan semua pihak dalam ekosistem transportasi online," ujar Igun
"Kami juga mendorong adanya kebijakan tarif pengantaran barang dan makanan yang adil serta penghapusan sistem-sistem diskriminatif di aplikasi, seperti program member, prioritas, hemat, slot, aceng, dan multi-order yang merugikan pengemudi," imbuhnya
Penurunan Potongan Biaya Aplikasi Lebih Mendesak
Dalam kesempatan itu, Garda Indonesia juga menyampaikan lima tuntutan utama yang mereka nilai lebih mendesak untuk dibahas pemerintah, antara lain Pembentukan UU atau Perppu tentang Transportasi Online. Penurunan potongan aplikasi menjadi maksimal 10%.
Penetapan tarif pengantaran barang dan makanan yang adil. Audit menyeluruh terhadap pemotongan 5% oleh aplikasi berdasarkan Kepmenhub KP No. 1001 Tahun 2022. Dan, penghapusan sistem-sistem diskriminatif dalam aplikasi seperti program member, slot, prioritas, multi-order, dan lainnya.
Igun menegaskan bahwa tuntutan ini telah disampaikan melalui surat resmi dan demonstrasi, namun hingga kini belum mendapat respons dari Kementerian Perhubungan.
Jika hingga pertengahan Juli 2025 tuntutan mereka tidak ditanggapi, Garda Indonesia mengancam akan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan Istana Presiden pada 21 Juli mendatang, serta menggelar aksi “off aplikasi” secara serentak.
"Selesaikan terlebih dahulu persoalan potongan biaya aplikasi 10%, baru lakukan kajian terhadap kenaikan tarif dalam revisi Kepmenhub dengan membentuk tim kajian yang transparan," tegas Igun
