Industri Tekstil RI Sekarat, Pengusaha Berjuang Keras Jaga Pabrik Tetap Hidup
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Jakarta, VIVA – Para pelaku industri tekstil dan benang filamen melalui Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), mengeluhkan soal makin terpuruknya industri tersebut akibat penolakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan membanjirnya impor ilegal dari China.
Keluhan itu disampaikan Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil, dalam audiensi yang digelar bersama dengan Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (BKPerdag Kemendag).
Dia menyebut, saat ini pengusaha hanya berjuang agar pabrik tetap hidup, sehingga faktor keuntungan sudah bukan lagi prioritas. Bahkan menurutnya, banyak yang datang dalam audiensi itu bukan lagi sebagai pengusaha, melainkan sebagai pejuang yang tengah bertahan.
"Ini bukan lagi soal bisnis. Banyak dari kami datang bukan sebagai pengusaha, tapi sebagai orang-orang yang sudah berjuang menjaga pabrik tetap hidup," kata Farhan dalam keterangannya, Selasa, 5 Agustus 2025.
Pekerja menyelesaikan produksi kain sarung di Pabrik Tekstil Kawasan Industri Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat, 4 Januari 2019.
- ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Dia menyebut, banyak pabrik mulai menutup operasi secara diam-diam, kontrak dibatalkan, dan rencana investasi kandas. Ribuan pekerja pun kehilangan mata pencaharian, namun menurutnya pemerintah seperti tidak melihat apa yang terjadi di lapangan.
"Kami bercerita bagaimana pabrik-pabrik mulai tutup diam-diam, kontrak dibatalkan, investasi batal, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. Dan saat itu kami merasa, pemerintah seperti tidak melihat," ujarnya.
Farhan berpendapat, keputusan pemerintah menolak BMAD telah menjadi pukulan telak bagi industri tekstil domestik yang tengah berjuang untuk pulih. Banyaknya rencana investasi yang akhirnya dibatalkan disebabkan oleh iklim usaha dianggap tidak kondusif.
Karenanya, dalam pertemuan dengan BKPerdag Kemendag kemarin, Farhan menyampaikan bahwa penolakan BMAD telah membuat banyak rencana investasi langsung batal. Investor asing yang sudah datang ke lokasi pabrik dan berkomitmen, kini menarik diri.
Mendag Zulhas bakar ribuan bal baju bekas impor ilegal
- Dok. Istimewa
"Bagi mereka, tidak ada jaminan iklim usaha yang fair jika barang impor terus masuk tanpa hambatan," ujarnya.
Diketahui, data APSyFI menunjukkan impor benang filamen meningkat tajam hingga 70-300 persen sejak 2017, tergantung jenis produk. Hal ini menjadi indikator keruntuhan pelan-pelan industri tekstil dalam negeri. Akibatnya, banyak pelaku industri kini menghadapi kredit macet, mesin mangkrak, hingga penurunan kepercayaan generasi muda terhadap sektor manufaktur.