Bisnis Unik yang Lagi Tren di China, Bikin 'Kantor Palsu' untuk Para Pengangguran

Ilustrasi kantor.
Sumber :
  • Pixabay.

Jakarta, VIVA – Di tengah perlambatan ekonomi dan pasar kerja yang kian sulit di China, muncul fenomena unik sekaligus menggelitik. Yaitu, sejumlah anak muda di sana yang rela mengeluarkan uang untuk “pura-pura bekerja” di kantor-kantor palsu. 

Cek Fakta: Prabowo Sebut Pengangguran RI 2025 Terendah Sejak Krisis 1998

Ide ini terdengar aneh, tapi bagi banyak generasi muda yang kesulitan mendapat pekerjaan nyata, duduk di kantor dan berpura-pura sibuk ternyata jadi solusi agar tidak merasa sia-sia dan tetap produktif.

Melansir dari BBC, angka pengangguran kaum muda di China memang masih tinggi, mencapai lebih dari 14%. Dengan kesempatan kerja yang makin langka, beberapa orang memilih membayar biaya harian sekitar 30 sampai 50 yuan atau sekitar Rp 60 ribu sampai Rp100 ribu agar bisa masuk ke kantor tiruan yang lengkap dengan komputer, internet, ruang rapat, bahkan ruang santai. 

Prabowo Targetkan Angka Pengangguran Terbuka Tahun 2026 Turun ke 4,44 Persen

Di sana, mereka duduk bersama “rekan kerja” lain yang melakukan hal sama. Shui Zhou, 30 tahun, adalah salah satu dari mereka. Setelah bisnis kulinernya gagal pada 2024, ia mulai membayar 30 yuan per hari untuk masuk ke kantor palsu yang dikelola oleh “Pretend To Work Company” di Dongguan. 

“Saya merasa sangat bahagia. Rasanya seperti kita benar-benar bekerja bersama sebagai sebuah tim,” ujarnya, seperti dikutip dari BBC, Selasa, 12 Agustus 2025. 

Prabowo Klaim Pengangguran Turun ke Level Terendah Sejak Krisis 1998

Di kantor itu, mereka bisa menggunakan komputer untuk mencari kerja, mencoba memulai usaha sendiri, atau sekadar menjaga disiplin.

Ilustrasi para pekerja di China

Photo :
  • AP Photo/Andy Wong

Fenomena ini kini menyebar ke berbagai kota besar China, seperti Shenzhen, Shanghai, Nanjing, Wuhan, Chengdu, dan Kunming. Beberapa kantor bahkan menawarkan paket yang sudah termasuk makan siang, camilan, dan minuman.

Menurut Dr. Christian Yao, pakar ekonomi dari Victoria University of Wellington, fenomena ‘pura-pura bekerja’ ini merupakan akibat dari transformasi ekonomi dan ketidaksesuaian antara pendidikan dan pasar kerja. “Anak muda membutuhkan tempat untuk memikirkan langkah selanjutnya atau melakukan pekerjaan sambilan sebagai masa transisi. Kantor pura-pura ini adalah salah satu solusi transisional,” katanya.

Di Shanghai, misalnya, Xiaowen Tang yang berusia 23 tahun, menyewa meja kerja di kantor pura-pura selama sebulan. Setelah lulus tahun lalu, dia belum mendapatkan pekerjaan tetap. 

Karena universitasnya mengharuskan bukti magang untuk mendapatkan ijazah, dia menggunakan foto-foto di kantor palsu sebagai bukti magang dan menulis novel online sambil “berpura-pura” bekerja. “Kalau sudah pura-pura, ya pura-puranya sampai tuntas,” ujarnya.

Menurut Dr. Biao Xiang dari Max Planck Institute di Jerman, tren ini muncul karena rasa frustrasi dan ketidakberdayaan anak muda menghadapi minimnya kesempatan kerja. “Pura-pura bekerja adalah cangkang yang mereka buat untuk menjaga jarak dari masyarakat dan memberi ruang bagi diri sendiri.”

Pemilik Pretend To Work Company di Dongguan, Feiyu (nama samaran), yang juga pernah mengalami pengangguran saat bisnis ritel yang dimilikinya tutup selama pandemi Covid-19, mengatakan bahwa yang dijual bukan sekadar tempat duduk, tapi juga martabat agar tidak merasa tidak berguna.

Dia mengungkapkan, 40% pelanggan adalah lulusan baru yang menggunakan kantor ini untuk mengambil foto sebagai bukti magang kepada dosen, sementara 60% lainnya adalah pekerja lepas dan digital nomad. “Usia rata-rata pelanggan sekitar 30 tahun,” katanya.

Meski begitu, Feiyu mengaku keberlanjutan bisnis ini masih diragukan dalam jangka panjang dan lebih melihatnya sebagai eksperimen sosial. “Ini menggunakan kebohongan untuk menjaga kehormatan, tapi memungkinkan beberapa orang menemukan kebenaran,” katanya. 

Fenomena unik ini memperlihatkan bagaimana anak muda di China beradaptasi dengan kondisi pasar kerja yang sulit. Ini juga sekaligus menyoroti pentingnya transformasi ekonomi dan pendidikan agar lebih selaras dengan kebutuhan zaman.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya