Bendungan Raksasa Tiongkok di Tibet Ancaman bagi Keamanan Air Bangladesh

Bendungan pembangkit listrik tenaga air China di Sungai Brahmaputra, Tibet
Sumber :
  • AsiaBizz

Tibet, VIVA – Proyek bendungan pembangkit listrik tenaga air senilai 170 miliar dolar AS yang dibangun Tiongkok di Sungai Brahmaputra, Tibet, memicu kekhawatiran serius bagi keamanan air, ekonomi, dan lingkungan Bangladesh. Para pengamat menilai, pemerintah Dhaka terlalu percaya pada Beijing dan mengabaikan risiko strategis dari hegemoni air Tiongkok.

Bisnis Unik yang Lagi Tren di China, Bikin 'Kantor Palsu' untuk Para Pengangguran

Bendungan Yarlung Tsangpo yang tengah dibangun memiliki kapasitas listrik 60 gigawatt—tiga kali lipat Bendungan Tiga Ngara i— raksasa infrastruktur ini akan secara fundamental mengubah hidrologi salah satu jalur air paling vital di Asia.

Bagi Bangladesh, negara dengan lebih dari 160 juta penduduk bergantung pada Sungai Brahmaputra (dikenal secara lokal sebagai Jamuna), konsekuensinya bisa sangat dahsyat. 

AS-China Perpanjang Gencatan Senjata Tarif Selama 90 hari

Hegemoni Tiongkok atas Sungai

Lokasi strategis bendungan di Great Bend di Kabupaten Medog di Tibet tenggara, hanya 30 kilometer dari perbatasan India, memungkinkan Tiongkok memiliki kendali yang belum pernah terjadi sebelumnya atas aliran air ke negara-negara hilir.

Jet Tempur Siluman Baru China Muncul ke Publik, Pesaing J-50 atau Drone Tempur Canggih?

Selama musim kemarau, Tiongkok dapat membatasi aliran air, yang mengakibatkan kekeringan parah, peningkatan intrusi salinitas di pesisir Bangladesh, dan runtuhnya sistem pertanian yang memberi makan jutaan orang.

Sebaliknya, pelepasan volume air yang sangat besar secara tiba-tiba dapat memicu banjir yang dahsyat, berpotensi menggusur jutaan orang dan menghancurkan infrastruktur penting.Mungkin yang paling merusak adalah dampak bendungan terhadap aliran sedimen.

Sedimen kaya nutrisi yang dibawa oleh Brahmaputra sangat penting untuk menjaga kesuburan tanah di seluruh wilayah delta Bangladesh. Dengan menghalangi sedimen ini, bendungan Tiongkok mengancam untuk merusak fondasi produktivitas pertanian Bangladesh, yang berpotensi mengurangi hasil panen padi hingga jutaan ton setiap tahunnya.

Para pemimpin Bangladesh sebaiknya mencermati perilaku Tiongkok di sungai-sungai lintas batas lainnya, terutama Sungai Mekong, di mana bendungan-bendungan Beijing di hulu telah menyebabkan penderitaan luar biasa bagi negara-negara hilir, termasuk Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam.

Manipulasi Tiongkok terhadap aliran Sungai Mekong telah menyebabkan kekeringan parah, gagalnya sektor perikanan, dan degradasi lingkungan yang berdampak pada jutaan orang. Polanya jelas: Tiongkok memandang sungai-sungai lintas batas sebagai alat pengaruh, alih-alih sumber daya bersama yang membutuhkan pengelolaan kooperatif.

Kurangnya transparansi seputar proyek Brahmaputra mencerminkan pendekatan tertutup Tiongkok terhadap Mekong. Meskipun Bangladesh telah berulang kali meminta penilaian dampak lingkungan dan data hidrologi yang terperinci, Beijing hanya memberikan sedikit informasi, dengan alasan "kedaulatan" atas pembangunan bendungannya di Tibet.

Ketidakjelasan ini mencerminkan strategi Tiongkok yang lebih luas, yaitu fait accompli—bangun dulu, negosiasi kemudian, jika memang diperlukan.

Strategi Bangladesh yang Salah Arah terhadap Tiongkok

Dukungan antusias Bangladesh terhadap program Satu Sabuk Satu Jalan (OBOR) Tiongkok, yang kini berganti nama menjadi Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), telah menciptakan ketergantungan berbahaya yang kini dieksploitasi Beijing.

Sebagai penerima pinjaman Tiongkok terbesar kedua di bawah BRI di Asia Selatan setelah Pakistan, Bangladesh telah berkomitmen untuk mendanai proyek-proyek senilai $40 miliar yang didanai Tiongkok.

Ketergantungan finansial yang besar ini memberi Tiongkok pengaruh yang signifikan terhadap keputusan kebijakan Bangladesh, yang berpotensi membatasi kemampuan Dhaka untuk memprotes proyek-proyek hulu yang merugikan.

Kesamaan pola dengan pengalaman Sri Lanka yang mengalami keruntuhan ekonominya, Dhaka memprioritaskan keuntungan infrastruktur jangka pendek daripada otonomi strategis jangka panjang. Investasi Tiongkok di sektor energi dan transportasi Bangladesh, meskipun memberikan manfaat langsung, telah menciptakan ketergantungan struktural yang dapat dieksploitasi Beijing selama sengketa.

Lebih mendasar lagi, pendekatan diplomatik Bangladesh dicirikan oleh keyakinan naif terhadap jaminan Tiongkok akan "kerja sama yang saling menguntungkan". Bahkan ketika Tiongkok membangun bendungan yang mengancam keamanan air Bangladesh, Dhaka terus memuji Beijing sebagai "mitra pembangunan tepercaya", yang menunjukkan kesenjangan yang berbahaya antara retorika dan kenyataan.

Bangladesh Abaikan India

Meskipun Bangladesh mencurahkan perhatian diplomatik kepada Tiongkok, negara itu secara historis telah memperkuat kerja sama dengan India—satu-satunya mitra regional yang memiliki kapasitas dan kepentingan untuk menandingi pengaruh Tiongkok di Brahmaputra.

India menghadapi ancaman serupa dari pembangunan bendungan hulu Tiongkok dan memiliki kepentingan yang sama dengan Bangladesh dalam menjaga aliran sungai alami.

Fondasi kerja sama India-Bangladesh yang kuat, perdagangan bilateral kedua negara mencapai $14,01 miliar pada tahun 2022-2023, dengan India menjadi mitra dagang terbesar Bangladesh di Asia Selatan.

India telah memberikan lebih dari $10 miliar bantuan pembangunan kepada Bangladesh, mendanai proyek-proyek infrastruktur penting termasuk pembangkit listrik, perkeretaapian, dan inisiatif konektivitas.

Lebih penting lagi, India dan Bangladesh telah berhasil menyelesaikan isu-isu bilateral yang kompleks melalui dialog dan kompromi. Perjanjian Batas Darat 2015, yang menyelesaikan sengketa perbatasan yang telah berlangsung puluhan tahun, dan penetapan batas laut menunjukkan bahwa kedua negara dapat mencapai hasil yang saling menguntungkan melalui negosiasi yang intens.

Khususnya di sektor air, India dan Bangladesh telah menunjukkan potensi kerja sama meskipun menghadapi tantangan. Perjanjian Air Sungai Gangga 1996, meskipun belum sempurna, menyediakan kerangka kerja untuk mengelola sumber daya air bersama.

Kedua negara telah menetapkan mekanisme teknis untuk berbagi data dan penyelesaian sengketa, yang menciptakan fondasi kelembagaan yang dapat diperluas untuk mengatasi tantangan pengelolaan air yang lebih luas.

Bangladesh harus secara fundamental mengkalibrasi ulang kebijakan luar negerinya untuk menghadapi tantangan Tiongkok. Hal ini membutuhkan beberapa langkah konkret:

Pertama, Bangladesh harus segera menuntut Tiongkok untuk menghentikan pembangunan bendungan hingga analisis dampak lingkungan yang komprehensif selesai dan dibagikan kepada negara-negara hilir.

Klaim Tiongkok bahwa bendungan tersebut "tidak akan berdampak negatif" terdengar tidak berdasar, mengingat penolakan Beijing untuk memberikan studi terperinci. Bangladesh harus menegaskan bahwa melanjutkan pembangunan tanpa konsultasi yang memadai merupakan tindakan yang tidak bersahabat dan tidak sesuai dengan kemitraan bilateral yang diklaim Tiongkok sebagai sesuatu yang berharga.

Kedua, Dhaka harus bekerja sama dengan India untuk membangun kerangka kerja pembagian air trilateral yang melibatkan Tiongkok. Alih-alih menerima unilateralisme Tiongkok, Bangladesh dan India harus mengajukan tuntutan bersama kepada Beijing untuk pengelolaan air yang transparan. Kekuatan diplomatik gabungan dari dua negara hilir terbesar ini dapat mendorong keterlibatan Tiongkok dengan cara-cara yang tidak dapat dicapai melalui protes bilateral yang terisolasi.

Ketiga, Bangladesh harus mempercepat kerja sama ekonomi dan keamanan dengan India untuk mengurangi pengaruh Tiongkok. Hal ini mencakup percepatan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEP), perluasan proyek konektivitas, dan pendalaman hubungan pertahanan. Integrasi yang lebih luas dengan ekonomi India yang mencapai $3,7 triliun akan memberi Bangladesh alternatif selain pembiayaan dan pasar Tiongkok.

Keempat, Bangladesh harus bergabung dengan India dalam mengembangkan strategi tandingan terhadap pembangunan bendungan Tiongkok. Hal ini dapat mencakup dukungan terhadap bendungan penyangga yang diusulkan India di Sungai Siang, kerja sama teknis dalam sistem pengelolaan banjir, dan advokasi bersama di forum internasional untuk tata kelola air lintas batas.
Keharusan Kemitraan India

Pengalaman India Hadapi Tiongkok

Kenyataan pahitnya adalah Bangladesh tidak dapat melawan dominasi air Tiongkok sendirian. Perekonomian Tiongkok yang mencapai $17,7 triliun dan kapabilitas infrastrukturnya yang luas mengerdilkan sumber daya Bangladesh. Hanya dengan bermitra dengan India—negara dengan skala yang sebanding dan kepentingan bersama—Bangladesh dapat berharap untuk memengaruhi perilaku Tiongkok.

Pengalaman India sendiri dengan agresi Tiongkok, mulai dari sengketa perbatasan di Ladakh hingga pembangunan bendungan di sungai-sungai yang digunakan bersama, telah menghasilkan penilaian yang lebih realistis terhadap niat Beijing.

Berbeda dengan Bangladesh yang secara naif merangkul "persahabatan" Tiongkok, India mendekati Tiongkok dengan kehati-hatian strategis, mempersiapkan langkah-langkah balasan sembari terlibat secara diplomatis.

Pendekatan India ini menawarkan Bangladesh sebuah model untuk mengelola hubungan dengan Tiongkok. Alih-alih menerima proyek-proyek Tiongkok tanpa kritik, Bangladesh seharusnya mengadopsi keterlibatan bersyarat—mendukung kerja sama yang saling menguntungkan sekaligus menentang tegas tindakan-tindakan yang mengancam kepentingan nasional inti.

Krisis air merupakan peluang bagi Bangladesh untuk menunjukkan kematangan strategis. Dengan bersikap tegas menentang pembangunan bendungan Tiongkok sekaligus memperdalam kerja sama dengan India, Dhaka dapat mulai memulihkan keseimbangan dalam kebijakan luar negerinya.

Alternatifnya—terus tunduk pada unilateralisme Tiongkok—hanya menjanjikan ketergantungan yang lebih dalam dan kerentanan yang lebih besar.

Bangladesh berada di persimpangan jalan yang akan menentukan masa depannya bagi generasi mendatang. Bendungan Tiongkok di Sungai Brahmaputra mewakili lebih dari sekadar ancaman lingkungan—bendungan ini melambangkan bahaya kepercayaan yang salah tempat dan kenaifan strategis. Solusinya bukanlah konfrontasi dengan Tiongkok, melainkan penyeimbangan kembali strategis melalui kemitraan yang lebih erat dengan India.

Para pemimpin Bangladesh harus memilih: melanjutkan pertaruhan berbahaya dengan mempercayai jaminan Tiongkok, atau merangkul kemitraan strategis dengan India yang menawarkan satu-satunya jalan realistis menuju ketahanan air dan otonomi nasional.

Rakyat Bangladesh layak mendapatkan pemimpin yang akan membuat pilihan ini berdasarkan realitas strategis yang keras, alih-alih basa-basi diplomatik. Masa depan mereka bergantung padanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya