Bukan Angka Pengangguran Tinggi, Ini Masalah Nyata Pasar Kerja di Negara Tetangga

Ilustrasi kelas pekerja.
Sumber :
  • Arabian Business.

Jakarta, VIVA – Malaysia tengah menghadapi dilema di pasar tenaga kerja yang jarang disorot. Meski angka pengangguran tercatat rendah dan stabil, jutaan pekerja justru terjebak dalam kondisi underemployment atau bekerja tapi tidak sesuai dengan kemampuan atau keinginan mereka. 

Bisnis Unik yang Lagi Tren di China, Bikin 'Kantor Palsu' untuk Para Pengangguran

Fenomena ini menjadi sinyal bahwa ada masalah besar di balik angka pengangguran yang terlihat “sehat,” yakni ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri yang terus berubah.

Mengutip dari The Star, Rabu, 13 Agustus 2025, tingkat pengangguran Malaysia tetap stabil pada angka terendah dalam satu dekade, yakni 3% pada Juni 2025. Tapi di lain sisi, fenomena underemployment semakin meningkat, bahkan mendekati angka dua juta. 

Realita Pahit 'Sarjana Baru', Kesulitan Mencari Pekerjaan di Tengah Pasar Kerja yang Lesu

Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian keterampilan antara para pencari kerja dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Underemployment terkait keterampilan meningkat dari 1,183 juta pada kuartal pertama 2017 (1Q17) menjadi 1,956 juta pada kuartal kedua 2025 (2Q25), sedikit lebih tinggi dibandingkan 1,954 juta pada kuartal sebelumnya.

Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah perempuan yang underemployed naik menjadi 1,073 juta pada 2Q25, dibandingkan dengan 1,068 juta pada 1Q25, sementara laki-laki mengalami penurunan menjadi 882.000 dari 886.000.

Lagi Mau Jemput Puluhan PMI Ilegal dari Malaysia, 2 Transportir Ditangkap

Bendera Malaysia.

Photo :
  • Pixabay

Pada kelompok usia 15 hingga 34 tahun, underemployment terkait keterampilan meningkat menjadi 1,239 juta, dari 1,188 juta. Sementara pada usia 35 tahun ke atas, jumlahnya turun menjadi 717.000, dari 766.000.

Menurut Profesor Ekonomi Sunway University, Yeah Kim Leng, tren ini mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara lulusan perguruan tinggi dengan keterampilan yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja. “Mereka terlibat dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang pelatihan atau spesialisasi mereka,” ujarnya, yang juga merupakan salah satu dari lima penasihat Komite Penasihat Kebijakan untuk Perdana Menteri.

Ia menambahkan bahwa kekurangan tenaga kerja terampil terlihat di sektor-sektor seperti semikonduktor, desain chip, robotika, dan aplikasi kecerdasan buatan (AI). Ia menyarankan agar universitas merancang kurikulum mereka agar lebih relevan dengan tuntutan industri.

Sementara itu, Ekonom Geoffrey Williams mencatat bahwa underemployment terkait keterampilan telah mengalami tren peningkatan selama bertahun-tahun. “Jumlah lulusan yang memasuki pasar tenaga kerja melebihi jumlah pekerjaan yang membutuhkan gelar,” ujar Williams, pendiri Williams Business Consultancy Sdn Bhd. 

“Universitas menghasilkan lulusan, namun tidak menciptakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Pemerintah bukan mesin pencipta lapangan kerja, dan bisnis swasta lebih fokus pada pekerjaan non-gelar,” lanjutnya.

Williams memperkirakan bahwa underemployment kemungkinan akan tetap berada di angka dua juta dan mungkin akan terus meningkat perlahan dalam beberapa tahun mendatang.

Di sisi lain, pasar tenaga kerja Malaysia tetap stabil pada Juni 2025, dengan tingkat pengangguran yang tetap pada 3%, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Jumlah pengangguran turun sebanyak 3.700 orang, atau 0,7%, menjadi 518.700 pada Juni, turun dari 522.400 pada Mei.

Jumlah pekerja meningkat menjadi 16,92 juta pada Juni, dari 16,86 juta pada bulan sebelumnya, dan meningkat dibandingkan dengan 16,42 juta pada tahun lalu.

Rasio penyerapan tenaga kerja terhadap populasi tetap stabil di angka 68,7%, meskipun meningkat dari 68,3% pada Juni 2024. Partisipasi angkatan kerja (LFPR) tetap stabil di 70,8%. 

Jumlah angkatan kerja laki-laki meningkat menjadi 10,98 juta pada Juni, dari 10,95 juta pada Mei, dengan LFPR yang tetap pada 83,3%. Sementara itu, angkatan kerja perempuan sedikit meningkat menjadi 6,45 juta, dari 6,44 juta, dengan LFPR yang tetap di 56,4%.

Meskipun demikian, jumlah individu di luar angkatan kerja hampir tidak berubah, yaitu 7,18 juta, sebagian besar disebabkan oleh tanggung jawab rumah tangga/keluarga (43,7%) dan pendidikan/pelatihan (40,9%).

Pada 2Q25, jumlah angkatan kerja rata-rata mencapai 17,37 juta, naik 0,8% dari 17,23 juta pada 1Q25, dan lebih tinggi dibandingkan dengan 16,91 juta pada 2Q24.

Rasio partisipasi angkatan kerja juga meningkat, naik satu poin persentase menjadi 70,8% pada 2Q25 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Sementara itu, pekerjaan meningkat 0,9% kuartal ke kuartal menjadi 16,85 juta, dari 16,7 juta pada 1Q25.

Di sisi lain, pengangguran turun 1% menjadi 520.900 pada 2Q25, dibandingkan dengan 526.300 pada kuartal sebelumnya. Tingkat pengangguran untuk 2Q25 rata-rata 3%, turun dari 3,1% pada 1Q25.

Prof Yeah menambahkan bahwa mempertahankan tingkat pengangguran 3% sudah merupakan pencapaian yang patut diapresiasi, mengingat ketidakpastian global. Ia juga mencatat bahwa angka ini bisa turun di bawah 3% jika pertumbuhan ekonomi tetap kuat. 

"Saya percaya sekitar 3% sudah dianggap sebagai pekerjaan penuh," ujarnya.

Tingkat pengangguran tertinggi tercatat pada 5,3% pada Mei 2020 akibat pandemi Covid-19, naik dari 3,2% di awal tahun itu. Terakhir kali pengangguran turun di bawah 3% adalah pada November 2014, ketika angka pengangguran mencapai 2,6%, sebelum kembali naik menjadi 3,1% pada bulan berikutnya, angka yang tetap dipertahankan sejak saat itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya