Lulusan Baru 2025 Hadapi Pasar Kerja Tersulit dalam 5 Tahun Terakhir, AI Jadi Biang Kerok?

Ilustrasi wisuda/lulus kuliah.
Sumber :
  • Pixabay/McElspeth

Jakarta, VIVA – Laporan terbaru menunjukkan lulusan perguruan tinggi tahun 2025 menghadapi pasar kerja yang paling sulit dalam lima tahun terakhir.

Menko Airlangga: Program Magang Hanya untuk Fresh Graduate Maksimal 1 Tahun

Sebanyak 33 persen lulusan 2025 tercatat menganggur dan masih aktif mencari pekerjaan, sementara hanya 30 persen lulusan yang berhasil mendapatkan pekerjaan penuh waktu sesuai bidang studinya.

Temuan itu berasal dari Cengage Group 2025 Graduate Employability Report, sebuah laporan nasional yang menyoroti penyempitan jalur rekrutmen dan kesenjangan keterampilan praktis yang membuat transisi lulusan baru menuju dunia kerja semakin berat.

Pemerintah Gelar Magang Buat Fresh Graduate, Gajinya Rp3,3 Juta per Bulan

Survei ini dilakukan secara daring pada Juni–Juli 2025 terhadap 865 manajer perekrutan penuh waktu, 698 instruktur pendidikan tinggi, dan 971 lulusan baru di seluruh Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan survei, sebanyak 76 persen pemberi kerja mengaku merekrut jumlah karyawan entry-level sama atau lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.

Pemerintah Siapkan Stimulus 8+4 Bagi Fresh Graduate Magang hingga Ojol

Angka ini meningkat dari 69 persen pada 2024. Penyebabnya antara lain kondisi pasar tenaga kerja yang ketat (51 persen), perkembangan teknologi AI (46), serta tekanan ekonomi global (46).

Kondisi ini sangat berbeda dengan 2022, ketika 65 persen pemberi kerja justru mengaku kesulitan menemukan talenta entry-level. Kini, hanya 35 persen yang menyatakan hal serupa.

Ilustrasi wisuda

Photo :
  • Freepik

Ilustrasi wisuda

Photo :
Selain itu, persyaratan gelar formal kembali meningkat. Sebanyak 71 persen perusahaan kini mewajibkan gelar dua atau empat tahun untuk posisi entry-level, naik dari 55 persen pada 2024.

Dampaknya, kesempatan kerja bagi lulusan semakin terbatas yang di antaranya:

- 30 persen lulusan 2025 mendapat pekerjaan sesuai jurusan (turun dari 41 persen di 2024)

- 26 persen bekerja di bidang lain yang tak sesuai jurusan

- 33 persen masih menganggur dan aktif mencari kerja

CEO Cengage Group, Michael Hansen, mengatakan, perlunya penyesuaian dalam sistem pendidikan.

“Kesenjangan kesiapan karier yang melebar, ditambah kebutuhan upskilling akibat teknologi seperti AI, menciptakan urgensi untuk memikirkan ulang bagaimana kita membekali pelajar agar siap kerja," ujarnya, seperti dikutip dari Forbes, Sabtu, 13 September 2025.

Laporan ini juga menyoroti adanya ketidaksamaan persepsi. Pengusaha menganggap kemampuan teknis sebagai prioritas utama, namun pendidik justru lebih menekankan soft skills seperti berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Hasilnya, banyak lulusan merasa tidak siap menghadapi pasar kerja. Hampir separuh (48 persen) lulusan 2025 mengaku tidak percaya diri melamar pekerjaan sesuai bidang, sementara hanya 51 persen merasa cukup menguasai keterampilan AI untuk keperluan mencari kerja.

SVP of Research Cengage Group, Kimberly Russell, menjelaskan, demi menghadapi ini, penting memiliki sinergi.

“Riset kami menunjukkan sebagian besar pendidik percaya muridnya siap kerja, tetapi lulusan justru mengatakan sebaliknya. Tanpa penyelarasan yang lebih kuat, kesenjangan tenaga kerja akan terus berlanjut,” katanya.

Meski 79 persen pendidik sepakat mahasiswa perlu pengalaman AI sebelum lulus, hanya 37 persen yang menganggap pengajaran keterampilan itu adalah tanggung jawab mereka.

Selain itu, faktor koneksi kini juga semakin menentukan hasil pencarian kerja. Lulusan menilai referensi pribadi (25 persen), magang atau pengalaman kerja (22), dan kemampuan wawancara (20) lebih berperan daripada sekadar gelar (17).

Namun, 20 persen lulusan mengaku program pendidikan mereka tidak membantu membangun koneksi profesional.

Lebih dari sepertiga (36 persen) berharap kampus bisa membantu mencari kerja, sementara 35 persennya berharap institusi lebih aktif menjalin kemitraan dengan dunia usaha.

“Sistem pengembangan tenaga kerja berada di titik persimpangan. Dengan menempatkan employability di pusat pembelajaran, kita bisa memastikan lulusan siap tidak hanya untuk pekerjaan pertama mereka, tetapi juga karier jangka panjang,” kata Hansen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya