Mengenal Career Minimalism, Cara Gen Z Menentukan Sukses Versi Mereka Sendiri
- freepik.com
Jakarta, VIVA – Dunia kerja terus berubah mengikuti pola pikir generasi yang mengisinya. Jika generasi sebelumnya identik dengan loyalitas jangka panjang pada satu perusahaan, Gen Z justru menghadirkan filosofi baru yang disebut “career minimalism.”
Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap pengalaman generasi sebelumnya, terutama Millennials, yang rela mengorbankan waktu dan energi demi karier, namun berakhir menghadapi krisis ekonomi, harga rumah yang melonjak, hingga stres kronis.
Gen Z, yang lahir antara 1997 hingga 2012, melihat kenyataan itu dan dengan berani menolak budaya tersebut. Sebab, bagi mereka, bekerja harus membiayai kehidupan, bukan justru sebaliknya.
Melansir dari Up Worthy, Kamis, 18 September 2025, data menyebut 68% pekerja Gen Z tidak akan mengejar posisi manajerial kecuali ada kompensasi yang jelas, baik berupa gaji lebih tinggi atau jabatan bergengsi.
“Gen Z lebih bersedia untuk merangkul pola pikir fleksibel dibandingkan generasi yang lebih tua. Sementara generasi sebelumnya sering memprioritaskan naik jabatan," kata Janel Abrahami, Career Pivot Strategist di Glassdoor.
Ia menjelaskan, Gen Z mencari padanan karier berupa jalur berkelanjutan di mana mereka bisa melompat ke peluang yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka saat itu. Itu bisa berarti menerima pemotongan gaji demi lebih banyak waktu luang, menerima jabatan lebih rendah demi peran yang lebih kreatif, atau beralih ke industri yang mereka anggap lebih stabil.
Ilustrasi Gen Z
- Freepik.com
"Karena 70% Gen Z meragukan keamanan pekerjaan mereka seiring kemajuan AI di tempat kerja, banyak yang secara proaktif beralih ke sektor seperti perdagangan terampil, kesehatan, dan pendidikan,” ujarnya.
Meski disebut “career minimalism,” semangat wirausaha Gen Z tetap tinggi. Sebanyak 57% pekerja Gen Z memiliki side hustle, lebih banyak daripada generasi mana pun sebelumnya.
Menariknya, motivasi utama mereka bukan sekadar uang. Sebanyak 49% mengatakan, tujuan utama adalah menjadi bos bagi diri sendiri, sementara 42% ingin menyalurkan passion mereka.
Work-life balance sebagai prioritas utama
Bagi Gen Z, keseimbangan hidup dan kerja bukan sekadar wacana, tapi kebutuhan. Sebanyak 32% Gen Z menyebut work-life balance sebagai faktor terpenting dalam pekerjaan, dibandingkan 28% Millennial dan 25% Gen X.
Lebih dari itu, mereka rela mengutamakan keseimbangan ini dibandingkan gaji tinggi. “Pengusaha mungkin akan terkejut dengan perubahan sikap Gen Z di tempat kerja,” kata Abrahami.
“Namun, ini tidak berarti Gen Z meninggalkan pekerjaan; sebaliknya, mereka mendefinisikan ulang ambisi melalui career minimalism. Jika Gen Z merasa tidak didukung dalam mencapai work-life balance yang mereka cari, mereka mungkin menjadi kurang termotivasi atau mulai mencari peluang yang lebih sesuai dengan nilai dan gaya hidup mereka.”
Sebanyak 73% karyawan Gen Z juga menginginkan fleksibilitas kerja permanen, dan 72% bahkan mempertimbangkan keluar dari pekerjaan karena kebijakan yang kaku. Sebaliknya, perusahaan yang menawarkan fleksibilitas memiliki tingkat retensi 78% lebih tinggi untuk karyawan Gen Z.