Lindungi Industri Hasil Tembakau, Pemerintah Didorong Seimbangkan Regulasi

Ilustrasi panen tembakau petani Indonesia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Jakarta, VIVA – Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB), merilis hasil kajian terbaru terkait 'Dinamika Regulasi dan Masa Depan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia'.

Soal Polemik Pajak Waris Balik Nama Rumah Ayah Leony, Tarif BPHTB Disebut Sudah Diatur UU

Direktur PPKE FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan, studi ini menyoroti ketidakseimbangan regulasi antara rokok tembakau konvensional, rokok ilegal, dan rokok elektrik, yang memicu perubahan perilaku konsumsi masyarakat serta berdampak serius terhadap keberlangsungan industri kretek nasional.

"Kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia kian tertekan oleh penerapan regulasi yang semakin ketat," kata Prof. Candra dalam keterangannya, Rabu, 1 Oktober 2025.

Tragedi Ponpes di Sidoarjo, DPR Dorong Perkuat Standar Keselamatan Pendidikan

Petani menjemur daun tembakau (Foto ilustrasi)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Merujuk data Bea dan Cukai (2023), terjadi penurunan signifikan pada volume produksi rokok, yaitu dari 348,1 miliar batang pada tahun 2015 menjadi 318,15 miliar batang pada tahun 2023. 

Ampuni 'Dosa' Produsen Rokok Ilegal Biar Jadi Bisnis Legal, Begini Strategi Purbaya

Penurunan tersebut menggambarkan besarnya tekanan yang dihadapi industri kretek, padahal sektor ini memiliki peran penting tidak hanya sebagai penyokong perekonomian nasional. "Tapi juga sebagai bagian dari identitas budaya bangsa," ujarnya.

Prof. Candra menambahkan, hasil survey PPKE FEB UB (2025) juga melaporkan, apabila dilihat dari harga rokok yang dikonsumsi, mayoritas perokok ilegal memilih rokok dengan harga sangat murah yakni di bawah Rp 1.000 per batang, dengan persentase 55,3 persen.

Sementara itu, perokok ganda cenderung memiliki pola konsumsi ringan, yaitu 1-6 batang per hari dengan persentase mencapai 47 persen. Sebaliknya, konsumsi berat (≥19 batang per hari) lebih banyak terjadi pada kelompok perokok ilegal, dengan persentase 21,3 persen.

"Hal ini menunjukkan bahwa perokok ilegal cenderung membeli rokok dalam jumlah banyak dengan harga yang sangat murah," kata Prof. Candra.

Sementara dari sisi daya beli, hasil kajian PPKE FEB UB menyatakan bahwa perokok legal dan perokok ganda umumnya bersedia membayar harga rokok maksimum pada kisaran Rp 2.500–Rp 3.499 per batang. Sebaliknya, perokok ilegal hanya mampu membayar di bawah Rp 1.000, atau antara Rp 1.000–Rp 1.499 per batang. 

Temuan ini membuktikan bahwa daya beli perokok ilegal relatif jauh lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Ketika harga rokok melampaui batas yang sanggup mereka bayar, mayoritas perokok ilegal (80,3%) cenderung beralih ke rokok yang lebih murah. Sementara itu, perokok ganda juga menunjukkan pola serupa dengan sebagian besar beralih ke rokok elektrik. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya