Artificial Intelligence di Mata Ulama dan Akademisi: Sorotan MHM di Panggung Utama IBF 2025
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Panggung utama Islamic Book Fair (IBF) 2025 menjadi magnet bagi ribuan pengunjung sejak hari pertama gelaran akbar ini dibuka, Rabu 18 Juni 2025. Sorotan utamanya bukan sekadar buku, melainkan sebuah diskusi intelektual yang digelar oleh Majelis Hukama Muslimin (MHM), menghadirkan tema yang sangat relevan: "Penguatan Literasi dan Pentingnya Menyiapkan Kedaulatan AI versi Indonesia."
Gelaran diskusi yang menyentuh ranah ilmu pengetahuan modern ini menghadirkan tokoh-tokoh penting, di antaranya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, pendiri dan anggota MHM yang juga dikenal luas sebagai pakar tafsir Al-Qur’an. Hadir pula Rezzy Eko Caraka, peneliti dari BRIN sekaligus profesor riset di Chaoyang University of Technology, Taiwan, serta Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., Ph.D., Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Republik Indonesia.
Diskusi ini dimoderatori oleh Muhammad Arifin, MA, perwakilan MHM cabang Indonesia, serta turut dihadiri oleh tamu kehormatan dari MHM pusat, yaitu Dr. Omar Obaedat yang datang langsung dari Uni Emirat Arab.
Majelis Hukama Muslimin (MHM) menggelar diskusi AI di Islamic Book Fair 2025.
- Istimewa
Prof. Quraish Shihab: Teknologi Harus Dibimbing Nilai
Mengawali diskusi, Prof. Quraish Shihab menekankan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), harus dikawal oleh nilai-nilai fundamental yang telah lama ditegaskan oleh Islam. Ia merujuk pada ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an, yakni “Iqra’ bismirabbik”—bacalah atas nama Tuhanmu.
Menurut Prof. Quraish, ayat tersebut tidak hanya menyuruh manusia membaca secara fisik, tetapi juga membaca dengan kesadaran nilai dan tanggung jawab. "Yang penting bukan hanya apa yang dibaca, tetapi untuk apa dibaca dan nilai apa yang menyertainya," ujarnya.
Ia menyoroti tiga nilai utama dalam menyikapi teknologi modern, khususnya AI:
- Nilai Kemanusiaan
Teknologi tidak boleh menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan. Ia mencontohkan teknologi kloning manusia yang ditolak karena bertentangan dengan esensi kemanusiaan. - Asas Kebermanfaatan
Segala bentuk teknologi harus membawa manfaat nyata dan tidak boleh membahayakan. Prinsip Islam mengedepankan dar’ul mafaasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih—mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat. - Sinergi Iman dan Ilmu
“Ilmu mempercepat perjalanan kita, tapi imanlah yang menentukan arah,” kata Prof. Quraish. Ilmu dan teknologi hanya alat. Tanpa iman dan akal budi, alat itu bisa membawa manusia pada kehancuran.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran tentang AI yang menjawab berdasarkan data lama yang belum tentu relevan atau sesuai dengan konteks lokal. “Jawaban AI bisa tepat untuk satu negara, tapi bisa jadi keliru jika diterapkan di Indonesia,” tegasnya, merujuk pada diskusi para ulama internasional yang baru-baru ini berlangsung di Bahrain.
Majelis Hukama Muslimin (MHM) menggelar diskusi AI di Islamic Book Fair 2025.
- Istimewa
Rezzy Eko Caraka: AI untuk Membantu, Bukan Menggantikan
Dalam sesi berikutnya, Rezzy Eko Caraka menjelaskan bagaimana AI seharusnya difungsikan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti manusia. "AI tidak memiliki kesadaran moral seperti manusia. Ia hanya bekerja berdasarkan data dan algoritma," ujarnya.
Ia menyoroti berbagai manfaat AI, seperti:
- Merancang strategi permainan olahraga.
- Mendeteksi transaksi keuangan yang mencurigakan.
- Menerjemahkan bahasa isyarat ke dalam suara.
- Membantu analisis kebutuhan infrastruktur, seperti rumah sakit kanker.
- Membantu dalam kajian Al-Qur’an, misalnya dalam pelacakan kata kunci seperti “zakat” dan korelasinya antar ayat.
Namun, Rezzy juga mengingatkan berbagai risiko AI, di antaranya:
- Kebocoran Data Pribadi
Banyak pengguna yang tidak sadar menyerahkan informasi pribadi ke platform AI secara sembarangan. - Menurunnya Kemampuan Berpikir
Ketergantungan pada AI bisa membuat manusia malas berpikir kritis. - Dampak Lingkungan
Server AI memerlukan pendingin dan air dalam jumlah besar, yang bisa berkontribusi pada krisis lingkungan.
“AI adalah alat, bukan tujuan. Kita harus bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakannya,” pesannya menutup presentasi.
Menko PMK Pratikno: Indonesia Butuh Kedaulatan dalam AI
Sebagai penutup, Prof. Pratikno mengangkat isu yang sangat strategis: kedaulatan teknologi, khususnya AI, untuk masa depan bangsa.
Ia memaparkan bahwa lebih dari 78% warga Indonesia memiliki akses internet dan termasuk negara pengguna aplikasi AI terbesar ketiga di dunia. Namun sayangnya, Indonesia belum menjadi produsen AI, masih menjadi konsumen data dan teknologi negara lain.
“Kalau data dan nilai-nilai lokal tidak dimasukkan, AI akan menyajikan jawaban dari perspektif luar yang tidak selalu relevan dengan budaya dan agama kita,” ungkapnya.
Prof. Pratikno mengingatkan bahwa AI dapat berdialog, tapi bukan netral. Jawaban AI tergantung data dan algoritma yang ditanamkan. Karena itu, ia mendorong organisasi besar seperti PBNU dan Muhammadiyah untuk mengembangkan platform AI sendiri.
Beberapa tantangan AI dalam konteks sosial dan keagamaan yang disampaikan oleh Menko PMK:
- Menurunnya Konsep Jamaah
Anak muda lebih memilih berkonsultasi dengan AI ketimbang berkumpul dengan ustadz atau kyai. - Kesenjangan Generasi
Orang tua belum sepenuhnya akrab dengan teknologi ini, sementara anak muda sudah sangat tergantung. - Validasi Konten
Jawaban AI bisa berbeda tergantung platform dan input data. Ini bisa menyesatkan jika tidak dikawal dengan baik. - Komersialisasi dan Distorsi Nilai
Banyak konten AI diwarnai clickbait, sensasionalisme, dan pengabaian nilai kebenaran demi trafik. - Erosi Spiritualitas dan Otoritas Ulama
Ketika AI menjadi ‘guru’ instan, otoritas keagamaan bisa tergeser jika masyarakat tidak dibimbing.
Literasi AI untuk Generasi Berdaulat
Diskusi yang berlangsung hangat dan dalam ini menjadi bukti bahwa isu kecerdasan buatan bukan sekadar topik teknis, tetapi juga menyentuh fondasi spiritual, etika, dan identitas bangsa. Majelis Hukama Muslimin melalui diskusi ini mengajak publik untuk tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi juga menjadi pemilik data, pelaku inovasi, dan penjaga nilai dalam ekosistem AI.
Islamic Book Fair 2025 pun bukan sekadar ajang buku, tapi menjadi ruang dialog peradaban untuk menjawab tantangan zaman dengan panduan wahyu dan akal sehat.