- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
“Dalam Undang-Undang Pasal 7, sangat sulit [pemakzulan] itu dilakukan. Dia harus melalui persetujuan paripurna DPR, kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Setelah itu dibawa lagi ke rapat paripurna DPR,” kata dia.
Terkait adanya penangkapan sejumlah tokoh terkait dugaan upaya makar, Arya memilih tak mengomentari. Dia mengaku belum mengetahui persis kasusnya sehingga lebih baik menunggu proses hukum yang dilakukan kepolisian.
Rachmawati Soekarnoputri ditangkap karena dituduh makar. Foto: Istimewa
Idil Akbar, Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, menilai tidak ada celah untuk menjatuhkan presiden saat ini. Dijelaskannya, hal yang bisa membuat presiden dijatuhkan ada tiga, yakni melanggar konstitusi, melakukan perbuatan asusila, atau korupsi.
”Itu agak susah. Kecuali ada semacam kudeta politik atau people power yang luar biasa seperti 1998,” ujarnya.
Sementara itu, Ubedilah Badrun menilai Presiden Jokowi tampak galau dan kehilangan kontrol dalam sejumlah keterangan persnya ketika menyebut ada aktor politik di balik aksi 4 November. Pernyataan tersebut kemudian disusul dengan pernyataan Kapolri yang menyimpulkan ada upaya makar atau upaya memakzulkan Presiden.
”Respons Jokowi yang menyebut ada aktor politik tersebut menunjukan Jokowi galau dan tergesa-gesa mengambil kesimpulan,” ujar Ubed.
Dia menilai, situasi politik sepanjang tahun 2016 diwarnai dinamika yang menunjukkan kepemimpinan nasional yang tidak efektif. Fakta tidak efektifnya kepemimpinan nasional tersebut terlihat dari tidak sedikitnya target pemerintahan yang tidak tercapai. Misalnya, target perolehan pajak yang hanya mencapai kurang lebih 80% dari target pajak.
”Upaya membangun soliditas kabinet sebagai prasyarat efektifnya pemerintahan juga diwarnai kegaduhan, terbukti dengan gaduhnya sesama menteri berbulan-bulan dalam perkara Blok Masela, gaduh reklamasi dan reshuffle kabinet yang dibatalkan hanya dalam beberapa pekan. Hubungan yang tidak sehat antara Presiden dengan Wakil Presiden juga terlihat pasca reshuffle kabinet jilid II,” ujarnya.
Meneropong 2017
Ubed menilai, secara umum politik 2016 masih menunjukkan kuatnya pencitraan politik, dramaturgi politik, oligarkis, dan pragmatis transaksional. Aspek national interest atau kepentingan nasional masih dilupakan dan diabaikan para politisi dan para pemegang kekuasaan.
Tahun 2017 nanti kemungkinannya masih diwarnai kuatnya simulacra politik, dramaturgi politik, oligarkis, pragmatis transaksional dan mobokratis. ”Bedanya tahun depan dinamika politiknya makin seru dan tensi politiknya makin naik. Terutama terkait dengan isu pergantian kekuasaan, isu pilkada dan kembali ke UUD 1945,” ujar Ubed.