Anggota DPR RI, Lora Fadil

Saya Poligami Justru Melindungi Harkat dan Martabat Perempuan

Lora Fadil
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

Menurut Anda, apa yang membuat konstituen kembali memenangkan Anda?
Pertama, saya adalah anak tokoh. Saya sudah cukup dikenal di dapil. Apalagi, sebelumnya pernah juga terpilih, dan tahun 2014 mencalonkan lagi, tapi gagal. Tapi, itu jadi investasi saya. Saya sudah menanam gerakan sejak tahun 2014. Jadi 2019 ini hanya tambal sulam saja. Menambah sedikit-sedikit apa yang sudah saya lakukan di 2014. 

Ada Suara 'Aneh' Sebelum Terapis Wanita Ditemukan Tewas di Lahan Kosong Pejaten

Boleh tahu identitas bapak dan ibu Anda?
Bapak saya namanya Kiai Haji Ahmad Muzakki. Beliau pendiri dan pengasuh pondok pesantren al-Qodiri, di Jember. Saya terlatih di dunia politik, baik tingkat desa sampai kecamatan. Saya tak pernah terpilih dari kampung saya, tapi dari kampung tetangga. Saya orang asli Jember, tapi dapil saya Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo. Dulu, periode 2009-2014, saya justru dari dapil Blitar, Kediri, Tulungagung. Saya terpilih dari daerah situ, dari PKB. 

Lora Fadil

MBG Disebut Bukan Janji Politik, Tapi Misi Peradaban

Kemarin Anda menghadiri pelantikan dengan membawa tiga istri. Mengapa Anda berani melakukan itu? Apakah memang ada misi tertentu yang ingin Anda sampaikan?
Saya termasuk orang yang dalam hidup mengikuti arus saja. Saya tak punya rencana tertentu. Saya ikut arus saja. Sebenarnya, sejak saya dilantik jadi anggota dewan, saya banyak tampil di media untuk menjadi narasumber mewakili komisi saya di DPR RI. Bicara soal direktur Garuda, lalu kapan hari saya juga bicara soal pesawat Boeing, dan lain lain. Tapi mungkin karena memang masyarakat antusiasnya bidang itu (poligami) ya mau gimana lagi? Masa mau saya paksakan?  Saya ikut arus saja, karena memang masyarakat itu lebih suka melihat saya poligami, berita-berita tentang poligami, saya ikuti.

Apa indikasinya masyarakat lebih suka berita tentang poligami?
Ketika saya unggah di medsos, misalnya mengucapkan selamat pada presiden atas pelantikannya. Sedikit sekali yang memberi jempol. Tapi, ketika saya unggah bersama istri-istri, yang memberi jempol dan berkomentar, jauh lebih banyak. Itu kan indikasi sederhana. Termasuk komen yang tidak enak, jauh lebih banyak ketika saya bicara rumah tangga. Status itu lebih seru, dan jadi pro kontra. Ketika saya unggah status tentang pekerjaan saya, biasanya juga sepi komentar. Jadi memang itu tak bisa dipaksakan, penilaian masyarakat dan ketertarikan mereka pada sebuah isu. Karena mungkin pribadi saya lebih menarik dibanding pekerjaan saya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Pesan Menohok Ketua Tim Reformasi Polri: Jadi Polisi Harus Ada Manfaatnya, Stop Sombong!