Peluang Investasi Baru Masih Bermunculan Usai LG Batalkan Proyek Baterai EV di RI
- VIVA/Yunisa Herawati
Jakarta, VIVA – Perusahaan baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) asal Korea Selatan, LG, secara resmi mengumumkan pembatalan rencana proyek ekosistem baterai EV di Indonesia.
Investasi besar ini sebelumnya mencakup pembangunan rantai pasok dari sumber bahan baku hingga produksi prekursor, bahan katoda, dan pembuatan sel baterai, dengan nilai mencapai US$7,7 miliar atau sekitar Rp128,84 triliun.
Pembatalan ini disebut-sebut terjadi karena adanya potensi pergeseran dalam lanskap industri global, yang berdampak pada perlambatan sementara permintaan kendaraan listrik.
Yannes Martinus Pasaribu, Ahli Desain Produk Industri dari Institut Teknologi Bandung sekaligus pengamat otomotif, mengungkapkan bahwa hal ini belum terlalu mengganggu industri otomotif nasional.
"Pembatalan janji investasi US$7,7 miliar untuk pembangunan rantai pasok baterai dari hulu (pengolahan nikel) hingga hilir (produksi sel baterai) yang tidak ada progres sejak 2019 ini belum mengganggu. Kan baru komitmen, belum ada groundbreaking," ujar Yannes saat dihubungi VIVA pada Rabu, 23 April 2025.
Yannes menjelaskan, meskipun konsorsium besar Korea Selatan yang dipimpin LG akhirnya bubar, situasi ini masih tergolong wajar dalam proyek-proyek besar, terlebih di tengah gejolak geopolitik dan geoekonomi global saat ini.
Baterai mobil listrik Tesla berbasis LFP
- Insideevs
"Tampaknya ini hal lumrah, terutama di tengah gejolak geopolitik dan geoekonomi Trump 2.0 yang memiliki dampak besar terhadap perlambatan pengembangan rantai pasok baterai EV ke negara-negara G7 seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat," jelasnya.
Ia menambahkan, Indonesia tidak serta-merta kehilangan daya tariknya bagi investor asing. Salah satu buktinya adalah keterlibatan Huayou dari China yang bekerja sama dengan Vale Indonesia dan Ford dalam proyek pemrosesan nikel senilai US$4,5 miliar.
"Setahu saya, Huayou dari China, yang bekerja sama dengan Vale Indonesia dan Ford untuk proyek pemrosesan nikel senilai US$4,5 miliar, tetap berjalan. Jadi Indonesia tidak kehilangan daya tariknya bagi investor pengganti," tutur Yannes.
Menurutnya, keputusan LG dan konsorsium Koreanya lebih dipengaruhi oleh dinamika global dan strategi bisnis internal mereka, bukan sepenuhnya karena kondisi di Indonesia.
"Kan pembatalan LG dan konsorsium Koreanya lebih dipengaruhi oleh dinamika global dan strategi bisnis internal mereka, bukan sepenuhnya karena kondisi di Indonesia," tegasnya.
Lebih lanjut, Yannes menyebutkan bahwa Indonesia masih menarik minat dari sejumlah perusahaan besar dunia untuk berinvestasi dalam ekosistem baterai dan kendaraan listrik.
"Keberhasilan pemerintah menggaet investor pengganti, seperti Huayou dan Ford, membuktikan bahwa Indonesia tetap menarik bagi investor asing. Perusahaan seperti CATL, GEM Co., dan Volkswagen juga berminat berinvestasi dalam ekosistem baterai dan EV di Indonesia. Hal ini memperkuat posisi Indonesia sebagai calon pusat produksi baterai dan kendaraan listrik di kawasan ASEAN," tutupnya.