Bebas Batas UU ITE
Poin keempat, melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang dulunya harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
Poin kelima, memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi.Â
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
Poin keenam, menambahkan ketentuan mengenai ‘right to be forgotten’ alias hak untuk dilupakan pada ketentuan Pasal 26 yang terbagi atas dua hal, yakni:
a. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus konten informasi elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik yang sudah tidak relevan.
Poin ketujuh, memperkuat peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan  transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Namun, revisi itu tak memuaskan aktivis internet dan masyarakat sipil.Â
Bagi kalangan pegiat internet, UU ITE itu bagai momok. Berdasarkan data dari Jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), sejak UU tersebut diundangkan pada 2008 sampai 2016, setidaknya ada 210 pengguna internet, termasuk 12 aktivis yang terjerat pasal pada UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik yang tertuang dalam pasal 27.Â
Aktivis internet dan masyarakat sipil meminta ada pencabutan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, atau memperbaiki rumusan isi pasal-pasal tersebut, namun menurut SAFENET, pemerintah malah menganggap masalahnya pada penerapan hukum bukan rumusannya dan akhirnya memilih mengurangi pidana penjara dan denda bukan menghapusnya.Â