Pakar Hukum Ini Sebut Rayie Utami Sah Jadi Ketua Umum PAI
- ist
VIVA – Perkumpulan Advocaten Indonesia (PAI), salah satu organisasi advokat di Indonesia, tengah menghadapi konflik internal yang berujung pada terjadinya dualisme kepemimpinan. Dihimpun dari berbagai sumnber, perpecahan ini mencuat setelah pemberhentian Junaidi, S.Sy, yang dikenal juga dengan nama Sultan Junaidi, dari jabatannya sebagai Ketua Umum PAI periode 2017–2022 oleh Dewan Pendiri serta sejumlah anggota aktif dan terdaftar dalam organisasi tersebut.
Pemberhentian Junaidi didasari oleh anggapan bahwa ia tidak menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai Ketua Umum secara optimal. Selain itu, Junaidi disebut tidak melakukan pendaftaran ulang organisasi dan membiarkan Surat Keputusan Administrasi Hukum Umum (SK AHU) terblokir sejak tahun 2022. Ia juga dituding melakukan pergantian kepengurusan secara sepihak, mulai dari tingkat pusat, wilayah, hingga kabupaten dan kota.
Menanggapi polemik tersebut, pakar hukum tata negara dan ilmu pemerintahan, Dr. Halim Darmawan, S.H., M.H., menyatakan bahwa legalitas kepengurusan PAI saat ini secara sah berada di bawah kepemimpinan Rayie Utami. Hal ini dibuktikan dengan telah terbitnya Surat Keputusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) dengan nomor: AHU-0001031.AH.01.08 Tahun 2025.
"Ya itu sudah jelas punya Bu Rayie yang sah, sudah diakui oleh Kementerian Hukum, mau apa lagi?" ujar Dr. Halim saat diwawancarai baru-baru ini.
Lebih lanjut, Dr. Halim menegaskan bahwa anggota organisasi advokat PAI yang menolak pengakuan hukum dari Kemenkumham RI dapat dikenakan sanksi etik. Pelanggaran terhadap pengakuan legalitas organisasi dianggap sebagai pelanggaran kode etik advokat yang bisa berujung pada larangan bersidang di pengadilan.
“Ya jelas, jika anggota tidak mengakui dan menghormati keputusan pemerintah, itu merupakan bagian dari pelanggaran kode etik. Itu sudah mutlak dapat dikenakan sanksi etik,” katanya.
Ia juga menyoroti argumentasi dari pihak Junaidi yang menolak pemberhentiannya sebagai Ketua Umum dengan alasan tidak memberikan persetujuan terhadap pergantian tersebut. Menurutnya, alasan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Jika pihak kubu Junaidi menolak diberhentikan sebagai ketua umum dan digantikan oleh ketua umum baru dengan alasan tidak adanya persetujuan darinya, maka itu merupakan sikap dan alasan yang keliru. Mahasiswa hukum semester tiga pun paham bahwa tidak perlu adanya persetujuan dari ketua umum terdahulu untuk diberhentikan oleh para pendiri dan pengurus, jika dianggap ketua umum melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar etika dan moral yang berdampak mencoreng nama baik suatu perkumpulan,” jelas Dr. Halim.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam akta pendirian suatu perkumpulan biasanya terdapat ketentuan bahwa dewan pendiri memiliki wewenang untuk menunjuk ketua umum dan menyusun kepengurusan. Maka dari itu, apabila kepengurusan tidak berhasil membentuk formatur hingga akhir masa jabatan, maka wajib diadakan Musyawarah Nasional (Munas) atau Kongres. Bila Munas atau Kongres tidak menghasilkan keputusan, dewan pendiri berhak mengambil langkah untuk melakukan perubahan akta dan menyusun ulang kepengurusan organisasi.
“Ditambah lagi, pada akta pendirian suatu perkumpulan pasti ada tertuang poin dimana dewan pendiri menunjuk ketua umum dan melakukan penyusunan kepengurusan. Sehingga bilamana kepengurusan awal dianggap gagal membuat formatur hingga berakhirnya periode jabatan, wajib dilaksanakan Munas atau kongres untuk membentuk kepengurusan. Dan jika Munas atau kongres itu masih gagal, ya tidak perlu Munas atau kongres lagi, para pendiri bisa mengambil langkah untuk melakukan perubahan akta dan membentuk atau menyusun ulang kepengurusan,” pungkasnya.