Fenomena Istilah "Healing" yang Viral dan Salah Kaprah
- Pexels.com
Jakarta, VIVA – Di era digital seperti sekarang, banyak istilah asing yang masuk ke kehidupan sehari-hari anak muda Indonesia. Salah satu yang paling populer adalah “healing”. Awalnya, kata ini berasal dari bahasa Inggris yang berarti penyembuhan, dan secara konteks merujuk pada proses pemulihan luka emosional, trauma, atau kelelahan mental. Namun di media sosial, khususnya TikTok dan Instagram, maknanya bergeser jauh: "healing" kini identik dengan liburan, staycation, atau sekadar nongkrong di kafe estetik.
Bahkan, tidak jarang kita menemukan konten dengan caption seperti “Lelah kerja? Healing dulu ke Bali.” atau “Masalah nggak selesai? Healing dulu ke Puncak.” Padahal, healing dalam konteks psikologi membutuhkan waktu, proses, dan sering kali bantuan profesional — bukan sekadar escape dari rutinitas.
Asal-Usul dan Arti Sebenarnya dari "Healing"
Bantuan Psikolog dan Psikiater
- pexels.com
Secara definisi, healing merupakan proses penyembuhan baik fisik maupun emosional. Dalam psikologi, healing bisa melibatkan terapi, meditasi, konseling, dan introspeksi diri. Artinya, healing itu tidak selalu tampak dari luar, tapi lebih kepada perbaikan mental dan emosional yang terjadi secara internal dan bertahap.
Namun di Indonesia, istilah ini justru mengalami perubahan makna yang ekstrem. Ia kini menjadi justifikasi untuk pelesiran, belanja impulsif, atau self reward yang kadang berlebihan. Akibatnya, banyak orang yang merasa “healing-nya gagal” karena setelah jalan-jalan mahal, masalah hidupnya tetap ada.
Dampak Budaya "Fake Healing" di Media Sosial
- Standar Kebahagiaan yang Salah Kaprah
Media sosial menciptakan ilusi bahwa seseorang harus pergi liburan agar dianggap sedang menyembuhkan diri. Padahal, healing tidak harus mahal atau glamor. Ini menekan individu untuk tampil seolah bahagia, meski sebenarnya sedang terpuruk.
- Tekanan Finansial demi "Healing"
Tak sedikit anak muda yang memaksakan diri melakukan "healing" dengan berhutang, demi konten estetik di Instagram atau TikTok. Hal ini tentu kontraproduktif — bukannya sembuh, justru menambah beban baru berupa masalah keuangan.
- Menghindari Introspeksi Diri
Healing yang sesungguhnya menuntut keberanian menghadapi luka batin. Tapi dengan budaya “healing = liburan”, proses ini justru digantikan dengan pelarian yang bersifat sementara.
- Normalisasi Konsumtif yang Tidak Sehat
Banyak brand kini memanfaatkan tren "healing" untuk kampanye iklan, mendorong anak muda membeli produk atau jasa dengan embel-embel pemulihan diri. Healing pun berubah menjadi ajang konsumsi, bukan refleksi.
- Menutupi Kesehatan Mental yang Sebenarnya Butuh Bantuan Serius
Banyak orang menggunakan istilah "healing" untuk menutupi kondisi mental yang sebenarnya membutuhkan perhatian lebih, seperti depresi, anxiety, atau burnout. Alih-alih konsultasi profesional, mereka memilih “jalan-jalan dulu”.
Kapan Healing Benar-Benar Dibutuhkan?
Ilustrasi sakit kepala, putus asa, depresi, pusing, stres.
- Pixabay/ lukasbieri
Healing dibutuhkan saat seseorang merasa tidak lagi bisa menjalani hidup secara optimal karena luka emosional, kelelahan mental, atau kehilangan arah. Healing bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
- Menulis jurnal harian
- Berkonsultasi dengan psikolog
- Beristirahat dari media sosial
- Meditasi atau aktivitas spiritual
- Membangun rutinitas sehat
- Jika liburan membantu, itu hanya sebagian kecil dari proses — bukan esensinya.
-
Saatnya Kembali ke Makna Sejati Healing
Tren “healing” di media sosial memang menyenangkan dilihat. Namun penting untuk diingat, healing sejati bukan soal ke mana kamu pergi, tetapi bagaimana kamu menyembuhkan luka di dalam diri. Tak harus ke Bali, tak perlu minum kopi mahal — kadang, healing terbaik adalah berani menghadapi diri sendiri dan mencari pertolongan yang tepat.