Probelematika Penegakan Hukum Pidana Pajak Terhadap Wajib Pajak
- vstory
VIVA – Ketentuan Pidana Materil di Dalam Undang-Undang Perpajakan. Tulisan ini fokus pada ketentuan pidana pajak terhadap wajib pajak. Ketentuan pidana terhadap wajib pajak diatur di dalam Pasal 38 Klaster Perpajakan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU CIPTAKER) dan Pasal 39, 39A Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU No. 28 Tahun 2007). Oleh karena itu, apabila wajib pajak disangkakan melakukan tindak pidana pajak, maka di antara tiga (3) Pasal inilah yang akan menjadi dasar kriminalisasi.
Adapun ancaman pidana di dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 39A adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun, paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) sampai 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Apabila ketiga rumusan Pasal tersebut dilihat dari kacamata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), didapati bahwa Pasal 38 dirumuskan sebagai tindak pidana “pelanggaran” sedangkan Pasal 39 dan Pasal 39A dirumuskan sebagai tindak pidana “kejahatan.” Hal ni teridentifikasi dari ancaman pidana yang melekat pada masing-masing Pasal a quo, termasuk ancaman pidana terhadap percobaan melakukan tindak pidana (poging) serta penegasannya dalam Pasal 42 UU No. 6 Tahun 1983.
Apresiasi terhadap rezim UU No. 28 Tahun 2007 adalah menambahkan satu syarat terhadap penerapan Pasal 38 UU a quo. Syarat tersebut adalah bahwa “perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A.” Artinya, ancaman pidananya “diperlunak," sehingga perbuatan Si pelanggar baru dapat dianggap sebagai tindak pidana apabila perbuatan demikian itu adalah perbuatan yang kesekian kali (pengulangan).
Kritikan penulis terhadap Pasal 38 UU a quo adalah tidak dirumuskan secara jelas, tegas dan pasti mengenai kriteria seseorang dapat dikriminalisasi berdasarkan Pasal 38 a quo. Tentu saja rumusan pasal yang demikian gelap dan kabur tersebut bertentang dengan kandungan asas legalitas yaitu lex stricta, lex certa. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam operasionalisasinya. Implikasi lebih lanjut, Pasal a quo berpotensi disulap menjadi lahan transaksional bagi operator hukum yang bersangkutan.