Israel Berencana Relokasi Warga Gaza ke Sudan Selatan, Netanyahu Sebut 'Migrasi Sukarela'
- Anadolu Ajansi
Tel Aviv, VIVA – Sejumlah pejabat Israel mengusulkan pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza—langkah yang oleh kelompok HAM disebut sebagai pengusiran paksa dan pelanggaran hukum internasional.
Kantor berita Associated Press (AP) sebelumnya melaporkan bahwa kedua negara terlibat dalam perundingan mengenai usulan Israel untuk memindahkan paksa warga Palestina dari Gaza ke Sudan Selatan, mengutip enam orang yang mengetahui masalah tersebut.
Kekhawatiran pun muncul bahwa warga Palestina yang dipindahkan tidak akan diizinkan kembali ke wilayah tersebut, sehingga membuka peluang bagi Israel untuk mencaplok wilayah Gaza dan membangun kembali permukiman di sana, sebagaimana diserukan oleh para menteri sayap kanan di pemerintahan Israel
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (Doc: AP Photo)
- VIVA.co.id/Natania Longdong
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya mendukung apa yang ia sebut sebagai “migrasi sukarela” bagi sebagian besar penduduk Gaza, sebuah kebijakan yang ia kaitkan dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya.
"Saya pikir hal yang benar untuk dilakukan, bahkan menurut hukum perang yang saya ketahui, adalah membiarkan penduduk pergi, dan kemudian Anda masuk dengan sekuat tenaga melawan musuh yang masih ada di sana," kata Netanyahu pada hari Selasa dalam sebuah wawancara dengan i24, sebuah stasiun TV Israel. Ia tidak merujuk ke Sudan Selatan.
Namun, AP melaporkan bahwa Israel dan AS telah mengajukan proposal serupa dengan Sudan, Somalia, dan wilayah Somaliland yang memisahkan diri.
Sudan Selatan membantah telah mengadakan diskusi dengan Israel mengenai potensi "pemukiman kembali" warga Palestina dari Gaza di negara Afrika Timur tersebut.
Sudan Selatan "dengan tegas membantah laporan media baru-baru ini yang mengklaim bahwa Pemerintah Republik Sudan Selatan sedang berdiskusi dengan Negara Israel mengenai pemukiman kembali warga negara Palestina dari Gaza di Sudan Selatan," kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu.
Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa klaim tersebut "tidak berdasar dan tidak mencerminkan posisi atau kebijakan resmi" pemerintah Sudan Selatan.
Sudan Selatan telah berjuang untuk pulih dari perang saudara yang meletus tak lama setelah kemerdekaan pada tahun 2011, yang menewaskan hampir 400.000 orang dan menyebabkan sebagian wilayah negara itu menghadapi kelaparan. Negara ini telah menampung populasi pengungsi yang besar dari konflik di negara-negara tetangga.
Pemimpin masyarakat sipil Sudan Selatan, Edmund Yakani, mengatakan kepada AP bahwa negara itu "tidak boleh menjadi tempat pembuangan sampah bagi orang-orang ... dan tidak boleh menerima orang-orang sebagai alat negosiasi untuk memperbaiki hubungan".
Joe Szlavik, pendiri firma lobi AS yang bekerja sama dengan Sudan Selatan, mengatakan ia telah diberi pengarahan oleh para pejabat Sudan Selatan tentang perundingan tersebut.
Menurut Szlavik, negara itu menginginkan pemerintahan Trump untuk mencabut larangan perjalanan dan menghapus sanksi terhadap beberapa elit Sudan Selatan.
Peter Martell, seorang jurnalis, mengatakan, "Sudan Selatan yang sedang kekurangan uang membutuhkan sekutu, keuntungan finansial, dan keamanan diplomatik apa pun yang bisa didapatkannya".
Pemerintahan Trump sebelumnya telah menekan beberapa negara untuk menerima deportasi, dan Sudan Selatan telah menerima delapan orang yang dideportasi dari AS berdasarkan kebijakan deportasi massal pemerintah.