Dua Polisi Penembak Laskar FPI Divonis Bebas, TP3: Peradilan Sesat!
- VIVA/Vicky Fajri
VIVA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis bebas dua anggota polisi terdakwa kasus judicial killing enam orang anggota Laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek, Jawa Barat. Kedua terdakwa, yakni Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan dibebaskan dari segala tuntutan.
Menanggapi bebasnya dua terdakwa pembunuh anggota FPI itu, Sekretaris Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI, Marwan Batubara menilai proses persidangan kasus penembakan Laskar FPI hanya dagelan yang tidak bisa dipercaya.
"Jadi kalau sudah pada awalnya pengadilannya sekedar sandiwara, dagelan yang sesat," kata Marawan Batubara dalam keterangannya yanh diterima awak media, Jumat 18 Maret 2022.
Menurut Marwan, putusan majelis hakim yang membebaskan kedua anggota polisi tersebut sangat tidak relevan dan membodohi masyarakat. Marwan mengingatkan masyarakat agar tidak mempercayai keputusan hakim ketua dalam sidang tersebut.
"Ya rasanya enggak relevan kita kasih tanggapan, kecuali mengingatkan masyarakat untuk tidak mempercayai sandiwara, dagelan itu," ujarnya.
Marwan mengingatkan publik bahwa penyelidikan atas kasus tewasnya 6 orang anggota FPI ditangan tiga orang polisi hingga kini belum pernah dilakukan oleh lembaga yang relevan. Atas dasar itu, Marwan menegaskan pihaknya tidak bisa percaya atas keputusan hakim ketua.
"Penyelidikannya sendiri belum pernah terjadi. Gimana kita mau percaya itu, belum pernah ada penyelidikan oleh lembaga relevan. Karena yang dilakukan oleh Komnas HAM itu hanya pemantauan, jadi kalau mantau artinya proses penyelidikan belum pernah terjadi," terang Marwan
Ia pun tidak habis pikir mengenai keputusan majelis hakim yang mengadili perkara tersebut. Padahal kenyataannya penyelidikan kasus tersebut belum pernah terjadi. "Bagaimana hakim mau mutus perkara yang penyelidikannya tidak pernah dilakukan," ujarnya
Pihaknya menduga proses hukum atas kasus tewasnya enam Laskar FPI di tangan polisi ini adalah rekayasa. Ditambah lagi, yang dijadikan dasar adalah hasil pemantauan Komnas HAM, bukan penyelidikan mendalam sehingga pengungkapan kasus jadi obyektif.
"Jadi apa relevansinya kalau emang pada dasarnya ini adalah pengadilan sesat yang sejak awal dari sisi proses hukumnya sendiri sudah sangat rekayasa," tegasnya