Eks Bos Sriwijaya Air Hendry Lie Dituntut 18 Tahun Terkait Kasus Dugaan Korupsi Timah

Kejagung tangkap Hendry Lie di Bandara Soetta.
Sumber :
  • Antara FOTO

Jakarta, VIVA – Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut 18 penjara untuk mantan bos Sriwijaya Air, Hendry Lie terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan komoditas timah. Sidang agenda tuntutan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Mei 2025.

"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 18 tahun dikurangi sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan, dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan," ujar jaksa di ruang sidang.

Kejagung tangkap Hendry Lie di Bandara Soetta.

Photo :
  • Antara FOTO

Hendry Lie dinilai jaksa telah terbukti secara salah dan meyakinkan bersalah, sehingga melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan primer.

Kemudian, jaksa juga menjatuhi tuntutan kepada Hendry Lie berupa membayar denda sebesar Rp1 miliar. Jika Hendry tak mampu membayarnya, maka sepatutnya diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1,6 triliun. Dengan ketentuan, apabila terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut," kata jaksa.

Jaksa menyatakan bahwa saat ini Hendry Lie tidak memiliki harta benda sebanyak yang dituntut. Maka itu, sudah sepatutnya Hendry Lie diminta untuk mengganti dengan pidana penjara selama 10 tahun.

Di sisi lain, jaksa menuntut belasan tahun penjara kepada Hendry Lie karena dinilai telah menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, termasuk kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan yang sangat masif.

Hendry Lie juga tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme.

"Terdakwa telah menikmati hasil tindak pidananya," kata jaksa soal hal yang memberatkan.

Namun begitu, hal yang meringankan Hendry Lie karena dirinya belum pernah dijerat hukum.

Sebelumnya, mantan Bos Sriwijaya Air, Hendry Lie dijatuhi dakwaan terima uang Rp1 triliun oleh jaksa penuntut umum (JPU) terkait dengan kasus dugaan korupsi pengelolaan komoditas timah.

Sidang dakwaan Hendry Lie digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis, 30 Januari 2025.

Dalam hal ini, jaksa menilai bahwa Hendry Lie merupakan pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa, yakni smelter swasta yang bekerja sama dengan PT Timah.

"Memperkaya Terdakwa Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa setidak-tidaknya Rp 1.059.577.589.599,19 (Rp 1 triliun)," ujar jaksa di ruang sidang pada Kamis, 30 Januari.

Hendry Lie, kata jaksa, diduga telah melakukan tindak pidana korupsi bersama dengan Rosalina selaku General Manager Operasional PT Tinindo Internusa, Fandy Lingga selaku Marketing PT Tinindo Internusa sejak 2008 hingga Agustus 2018, Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (PT RBT) sejak 2016, Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sejak 2017, Harvey Moeis yang mewakili PT RBT.

Kemudian, Hendry juga bekerja sama dengan Tamron alias Aon selaku beneficial owner CV Venus Inti Perkasa (CV VIP) dan PT Menara Cipta Mulia, Achmad Albani, Hasan Thjie, Kwan Yung, Suwito Gunawan, MB Gunawan, Robert Indarto, Suranto Wibowo, Amir Syahbana, Rusbani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, dan Alwin Albar.

Namun begitu, mereka semua didakwa oleh JPU dengan berkas yang terpisah.

"Terdakwa Hendry Lie memerintahkan Rosalina dan Fandy Lingga untuk membuat dan menandatangani surat penawaran PT Tinindo Internusa No 093/ Tin/ VIII/ 2018 tanggal 3 Agustus 2018 perihal penawaran kerja sama sewa alat processing timah kepada PT Timah bersama smelter swasta lainnya, antara lain PT RBT, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa, yang diketahuinya smelter-smelter swasta tersebut tidak memiliki CP (competent person) dan format surat penawaran kerja sama sudah dibuatkan oleh PT Timah," kata jaksa.

Kemudian, jaksa juga menilai bahwa Hendry bersama Fandy, Rosalina, dan perusahaan afiliasi yaitu CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa, membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah.

Hendry pun selanjutnya meminta kepada Fandy untuk hadir dalam pertemuan yang digelar di Hotel Novotel Pangkal Pinang dengan Mochtar Rizal Pahlevi selaku Direktur Utama PT Timah dan Alwin Albar selaku Direktur Operasional PT Timah dan 27 pemilik smelter swasta.

"Yang membahas permintaan Mochtar Riza Pahlevi dan Alwin Albar atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter swasta tersebut karena bijih timah yang diekspor oleh smelter-smelter swasta tersebut merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan di wilayah IUP PT Timah," ucap dia.

Percakapan soal 'Perintah Ibu' Diputar Lagi saat Sidang Hasto, Saeful Bahri: Saya Enggak Tahu

Hendry Lie, kata Jaksa, ternyata mengetahui dan menyetujui pembentukan perusahaan boneka atau cangkang CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa sebagai mitra jasa borongan yang akan diberi SPK (surat perintah kerja) pengangkutan oleh PT Timah. 

Sehingga, jaksa menyebutkan bahwa SPK yang digunakan membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal dari wilayah IUP PT Timah justru dijual kepada PT Timah sebagai tindak lanjut kerja sama sewa peralatan processing antara PT Timah dan PT Tinindo Internusa.

Hasto Kristiyanto Sebut Keterangan Saeful Bahri Cuma Daur Ulang: Suatu Akrobat Hukum

Jaksa mengatakan kerugian keuangan negara dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Jaksa meyakini Hendry Lie melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

"Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14, berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan IUP PT Timah tahun 2015 sampai 2022, Nomor PE.04.03/S garis mendatar 522-D5-03-2024 tanggal 28 Mei 2024 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia," ujar jaksa.

Rest Area KM 21B Tol Jagorawi Masih Beroperasi Walau Sudah Ada Plang Penyitaan Kejagung
Jaksa pada Kejari Palembang menuntut ringan terdakwa bandar narkoba

Residivis Bandar Narkoba di Palembang Dituntut Ringan Jaksa, Kok Bisa?

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Palembang menuntut ringan terdakwa bandar narkoba dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda 10 juta

img_title
VIVA.co.id
29 Mei 2025