Sidang Perundungan Dokter PPDS, Dokter Spesialis Jiwa Pastikan dr Aulia Risma Tidak Ingin Bunuh Diri

Sidang kasus perundungan dokter PPDS
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Muncul fakta baru dalam sidang perkara tewasnya dokter Aulia Risma. Saksi yang merupakan dokter spesialis jiwa dr. Linda Kartika Sari SpKJ menyebut bahwa keluhan dokter Aulia Risma berupa perasaan sedih, depresi, ingin mati, dan merasa hidup tidak berarti telah hilang pada konsultasi terakhir.

Diduga Dipicu Masalah Keluarga, Ayah di Jambi Ditemukan Gantung Diri di Kandang Sapi

Hal itu menunjukkan tekanan psikologis telah berkurang dan dokter Aulia Risma telah menemukan ritme sebagai residen anestesi

Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M. Nasser menceritakan jalannya persidangan. Menurutnya, persidangan berlangsung hampir seharian penuh dengan berbagai dinamika yang menarik. Terutama, saksi dokter spesialis jiwa Linda Kartika Sari yang memeriksa almarhumah di hujani berbagai pertanyaan baik oleh Jaksa, penasehat hukum maupun Majelis Hakim.

PMI asal Kediri Meninggal Setelah Bunuh Diri di Korsel

Sidang kasus dugaan perundungan dokter PPDS

Photo :
  • Istimewa

"Terungkap berdasar kesaksian dokter spesialis jiwa bahwa saat pertama kali datang konsultasi pada November 2022, almarhumah datang dengan perasaan sedih, depresi, ingin mati, hilang minat dan merasa hidup tidak berarti. Dalam konsultasi keenam atau terakhir pada semester 3 atau Mei 2023 dipastikan hampir semua keluhan ini sudah hilang," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis 3 Juli 2025.

Terpopuler: Eks Pemain Bandung FC Nyaris Bunuh Diri, 8 Klub Internasional Milik Pengusaha Indonesia

Dari analisa dokter spesialis jiwa itu diketahui bahwa Dokter Aulia Risma mulai membaik seiring dengan tidak ada lagi tuntutan pendidikan residential atau setidak-tidaknya tekanan berkurang. Bisa diduga kuat juga bahwa almarhumah sudah mulai mendapatkan ritme sebagai residen anastesi, sekaligus obat anti psikotik sudah bekerja optimal.

"Hal ini menjadi fakta hukum yang kuat bahwa almarhumah tidak meninggal karena bunuh diri," papar Nasser. 

Sementara Kuasa Hukum Ketiga Terdakwa Moh. Soleh menuturkan bahwa saksi lain dr. Suri Muliati yang juga alumni FK Undip memberikan kesaksian bahwa pasal anestesi memang intimidatif pada residen tetapi pada hakekatnya pasal ini memperkuat karakter dokter anestesi. 

“Namun, bagi dokter Suri pasal anastesi telah ikut berperan memperkuat ketahanan semangat dokter anastesi menghadapi kesulitan dalam merawat pasien, bahwa pasal anastesi adalah tidak sekedar lucu-lucuan tapi sebetulnya memiliki makna yang dalam untuk tidak menyerah sepanjang hanya untuk kepentingan pasien. Bahkan dokter Suri dalam persidangan mengakui apa yang menjadi inti pasal anestesi telah mampu memperkuat kolegalitas dan memupuk spirit yang mengedepankan patient safety, oleh karena itu dokter Suri beranggapan pasal anestesi adalah ajaran moral yang hanya dapat diresapi oleh kalangan terbatas walau oleh orang lain dianggap aneh dan tidak wajar,” ujarnya.

Fakta lain yang terungkap di persidangan oleh lima orang saksi fakta bahwa setoran dana bantuan operasional pendidikan (BOP) sebesar Rp. 80 juta digunakan seluruhnya untuk keperluan residen seperti uang ujian, uang perjalanan dan dana-dana lain yang ternyata tidak ditanggung baik oleh UNDIP apalagi RS Karyadi.

"Kelima saksi ini mengaku bahwa dana tersebut sama sekali tidak digunakan untuk kepentingan dokter senior apalagi secara khusus oleh terdakwa dr. Taufik. Ada fitnah yang sedang menancap pada perkara ini," jelasnya.

Kuasa Hukum Terdakwa Paulus Sirait dan Moh. Soleh dengan tegas meyakinkan majelis hakim bahwa banyak fakta hukum dalam perkara ini yang perlu dibuktikan kebenarannya. "Karena ada beberapa indikasi yang cenderung tidak berdasar fakta dan penuh celah dalam proses penyidikan," ujarnya.

Sementara itu semua saksi fakta ini sepakat mengakui bahwa ada keterangan yang diputar-putar dan disusun sedemikian rupa yang akhirnya mengaburkan dakwaan sehingga seolah-olah ada penggelapan pasal 378 KUHP disertai pengancaman pasal 368 KUHP.

"Sampai persidangan ke enam ini tidak jelas siapa menipu siapa dan siapa mengancam siapa. Oh nasib hukum Indonesia yang bisa dibolak-balik sesuai keinginan yang punya hajat," keluh para dokter anestesi ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya