Mahfud MD Sebut Wamen Rangkap Komisaris Beresiko Tersangkut Kasus Korupsi

Pakar hukum tata negara sekaligus eks Menko Polhukam, Mahfud MD di kawasan Jakarta Pusat, Jumat, 20 Desember 2024
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yeni Lestari

Jakarta, VIVA – Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengatakan wakil menteri (wamen) yang merangkap jabatan sebagai komisaris melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, dia juga menilai hal tersebut beresiko memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Hasto Gugat Pasal 21 UU Tipikor, Begini Respons KPK

Mahfud mengkritik pemerintah yang tampak mengabaikan putusan MK tersebut, meskipun bersifat final dan mengikat.

Ia menjelaskan bahwa MK melarang wamen menjabat komisaris karena statusnya sebagai jabatan politik, bukan karier.

Menkum Supratman Harap Paulus Tannos Pulang ke RI Secara Sukarela

“Gini, MK sudah memberi putusan dengan jelas bahwa apa yang dilarang bagi menteri dilarang juga bagi wamen. Kan itu bunyi putusan,” kata Mahfud dalam wawancara di kanal YouTube Hendri Satrio Official, Sabtu, 26 Juli 2025.

Mahfud menyoroti konflik kepentingan, terutama ketika pejabat dari Kejaksaan Agung atau KPK merangkap jabatan di BUMN lewat Danantara, yang seharusnya diawasi secara independen.

Bukan Milik Ridwan Kamil, KPK Yakin Moge yang Disita Terkait Korupsi BJB

“Memperkaya diri sendiri, tahu bahwa itu dilarang, tapi tetap mengambil gaji di situ. Yang mengangkat juga memperkaya orang lain, merugikan keuangan negara,” tegas Mahfud.

Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) lantas bertanya soal kemungkinan para wamen terkena korupsi akibat merangkap jabatan sebagai komisaris.

“Coba coba coba. Jadi wamen yang merangkap komisaris itu ada unsur korupsinya?," tanya Hensa.

Mahfud menjelaskan bahwa merangkap jabatan itu sama dengan memperkaya diri sendiri. Bahkan, merujuk pada pasal 55 KUHP, ia mengatakan yang memberikan jabatan pun bisa terseret dalam pusaran korupsi tersebut.

"Kalau di dalam hukum pidana ada tindak pidana bersama-sama. Pasal 55 ya, secara bersama-sama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Tapi kan lalu alasan konyolnya itu sering ‘Pak itu kan hanya ada di pendapat mahkamah bukan di amar?’ Sebenarnya pendapat mahkamah itu ya itulah sebenarnya hukum karena itu yang disebut _memori van toechlichting_ namanya,” jelas Mahfud.

Hensa kemudian menyinggung apakah putusan MK ini akan dijalankan atau tidak terkait dengan wamen merangkap komisaris tersebut.

“Kalau keputusan MK yang melarang wamen jadi komisaris akan dilaksanakan atau tidak, Prof?” tanya Hensa.

“Kalau melihat gelagat politiknya kayaknya mau diabaikan. Tapi itu akan menjadi bom waktu menurut saya.” jawab Mahfud.

Ia memperingatkan bahwa sikap abai ini dapat menormalisasi ketidaktaatan hukum. Sebab, menurut Mahfud, membiarkan pelanggaran ini berlanjut dapat merusak tatanan konstitusional dan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan serta membuka celah untuk penyalahgunaan kekuasaan yang lebih luas di masa depan.

“Tapi kan hukum tuh lagi-lagi produk politik. Kalau pemerintahnya masih (abai) seperti itu ya akan seperti itu. Tapi kalau pemerintah mau baik-baik, ya yang kemarin sudah terlanjur sekarang sudah putusan MK mari kita hentikan (pengangkatan wamen jadi komisaris),” kata Mahfud.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya