Jelang HUT ke-80 RI, AKSI Soroti 3 Masalah Utama Tanda Kemerosotan Nasional

Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI)
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta, VIVA – Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyoroti tanda-tanda kemerosotan nasional menyambut 80 tahun kemerdekaan Indonesia. AKSI menilai sendi-sendi Republik mulai rusak, terlihat dari melemahnya penghormatan HAM, penegakan hukum, dan kesetaraan warga negara.

HUT ke-80 Kemerdekaan RI, Gubernur, Wagub, dan Sekdaprov Sumut Kompak Pakai Baju Adat

Hal ini disampaikan dalam konferensi pers yang dihadiri Marzuki Darusman (Jaksa Agung 1999-2001; Aktivis HAM), Asvi Warman Adam (sejarawan), Andi Achdian (sejarawan), Firda ( aktivis dan sejarawan), ⁠⁠Ita Fatia Nadia (peneliti sejarah), Jaleswari Pramodhawardani (Direktur Lab45), Sulistyowati Irianto (Profesor Antropologi Hukum), ⁠⁠Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia), dan Amiruddin Al Rahab (Aktivis HAM).

"Indonesia pernah menjadi inspirasi dunia melawan kolonialisme melalui Proklamasi 1945 dan KAA 1955. Namun warisan ini memudar akibat depolitisasi selama 60 tahun pasca 1965," kata pernyataan resmi AKSI.

Menlu Wong Ucapkan Dirgahayu Indonesia: Australia Negara Pertama Dukung Kemerdekaan RI

Logo Hut ke-80 RI

Photo :
  • VIVA/Surya Aditiya

AKSI mencatat tiga masalah utama: pertama, dominasi segelintir orang terkaya yang menguasai kekayaan setara 50 juta warga. Kedua, warisan otoritarianisme Orde Baru yang masih hidup melalui Negara Keamanan Nasional.

Momen 8 Helikopter TNI Kibarkan Bendera Merah Putih Raksasa di Atas Istana

Ketiga, manipulasi sejarah yang menghapus memori kelam bangsa.  

"Reformasi gagal mengubah sistem. Justru dalam 10 bulan terakhir, pemerintahan menunjukkan ciri Orde Baru, militeristik, anti-HAM, dan anti-intelektual," tegas AKSI.

Tiga tuntutan utama diajukan, yakni pencabutan kebijakan penulisan ulang sejarah yang memanipulasi memori kolektif, penghentian praktik otoriter melalui instrumen hukum dan pembatasan demokrasi, dan penghentian kriminalisasi kebebasan berekspresi dan kekerasan terhadap kritik  

AKSI menegaskan, Indonesia membutuhkan nasionalisme kemanusiaan yang progresif, bukan nasionalisme darurat yang agresif.

"Pemimpin harus mengembalikan martabat bangsa, bukan merampok kekayaan negeri untuk kepentingan pribadi," kata dia.

Peringatan ini disampaikan bertepatan dengan momentum 80 tahun Proklamasi Kemerdekaan, mengingatkan komitmen awal Republik, yakni melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya