BPSK: Konsumen Bisa Komplain Beras Oplosan Asal Simpan Struk Pembelian
- VIVA/Anisa Aulia
Jakarta, VIVA – Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta mengatakan masyarakat sebagai konsumen bisa mengajukan komplain terhadap suatu produk, termasuk beras oplosan asalkan masih mempunyai struk pembelian produk itu.
Hal tersebut berujuk polemik beras oplosan yang tengah menjadi sorotan. Berdasarkan analisis dari Kementerian Pertanian, sebanyak 268 sampel beras di 10 provinsi: 212 merek dinyatakan tidak sesuai standar mutu dan volume, banyak dijual dengan label premium/medium meski bermutu rendah alias dioplos.
"Merujuk UU Nomor 8 Tahun 1999, kita harus melihat adanya hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha. Ini dibuktikan dengan struk pembelian," kata anggota BPSK DKI Jakarta, Eka Efrianty Putri di Balai Kota Jakarta, Senin, 21 Juli 2025.Â
Dalam kegiatan sosialisasi bertema "Produk Oplosan Emang Bikin Boncos: Perlindungan Konsumen dan HAM terabaikan", dia mengatakan struk pembelian dapat menjadi bukti bahwa individu membeli produk milik suatu produsen.
Hal itu juga berlaku untuk produk beras premium yang belakangan ini dikabarkan dicampur dengan beras mutu berbeda.
"Kategori beras premium yang sudah melalui pengemasan, biasanya ada label. Di situ ada call center pengaduan konsumen. Sebetulnya, bisa melalui itu dulu kita lakukan upaya komplain kepada pelaku usaha, tapi harus dibuktikan kita membeli produknya," kata dia.
Lalu, apabila individu membeli produk di toko kelontong, maka sebaiknya tetap meminta bon pembelian, kendati ditulis tangan. Kemudian, simpan bon tersebut.
"Tulis saja misalnya, lima kilogram beras merek apa. Tidak apa-apa walau ditulis manual. Kalau bisa simpan dulu. Sekarang juga sudah canggih mungkin bisa difoto, disimpan. Atau kalau belanja di supermarket, potret struk lalu simpan," jelas Eka.
Dengan adanya struk sebagai bukti pembelian, konsumen dapat meminta ganti rugi atas produk yang dibelinya, apabila produk itu ditemukan tak sesuai standar. Ini termasuk hak konsumen sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Kebanyakan kasus yang terjadi pidananya saja yang dimunculkan, tapi gugatan ganti rugi diabaikan. Padahal, sebetulnya, melalui Undang-Undang Nomor 8, Tahun 1999, itu bisa, dengan catatan ada bukti struk. Misalnya, mendapatkan uang sesuai nilai transaksi," kata Eka.