Bukan PHK Massal, Ini Dampak Lain AI di Perusahaan dan Pasar Kerja

Ilustrasi AI masuk kantor.
Sumber :
  • Freepik

Jakarta, VIVA – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) kini semakin terasa di berbagai perusahaan besar. Alih-alih mengurangi jumlah karyawan, banyak organisasi mulai menyesuaikan cara kerja dan tanggung jawab tim agar lebih efisien. 

Fintech Ini Menyesal PHK Ribuan Karyawan Gara-gara AI

Tren ini menunjukkan bahwa AI bukan hanya ancaman terhadap para pekerja, tetapi bisa juga dijadikan alat untuk meningkatkan produktivitas dengan restrukturisasi internal. Banyak perusahaan memilih untuk menggabungkan tanggung jawab daripada melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga dampak langsung terhadap tenaga kerja relatif minim.

Namun, optimisme terhadap AI juga datang dengan tantangan tersendiri. Banyak karyawan merasa bahwa teknologi ini masih dalam tahap awal dan belum sepenuhnya mampu memenuhi ekspektasi peningkatan output yang ditargetkan oleh perusahaan. 

Industri Rokok Terancam PHK Massal, DPR Desak Pemerintah Bertindak Cepat

Sementara itu, perusahaan pun menghadapi kekurangan tenaga ahli AI, sehingga adopsi teknologi ini masih tersebar tidak merata. Menurut studi Redefining Work: AI & the Future of Talent yang dirilis oleh Cooper Fitch, AI disebut bisa mendorong perusahaan untuk mengkonsolidasikan peran. 

"Ini lebih seperti penggabungan peran dan tanggung jawab daripada pertanyaan tentang pemangkasan karyawan, karena 60 persen dari responden survei mengatakan akan ada dampak lapangan kerja yang sangat minim," kata Dr. Trefor Murphy, pendiri sekaligus CEO Cooper Fitch, seperti dikutip dari Khaleej Times, Jumat, 12 September 2025.

Raksasa Farmasi hingga Bioteknologi Dilanda PHK Massal Sepanjang 2025, Kok Bisa?

Ilustrasi sedang bekerja.

Photo :
  • freepik.com/tirachardz

”Peran yang terpengaruh saat ini adalah peran junior, lulusan baru, administratif, entri data, beberapa pekerjaan penulisan laporan, dan peran otomatisasi," sambung dia.

Sekitar sepertiga responden survei memperkirakan, akan ada penghapusan beberapa peran dalam 12–24 bulan ke depan, di mana itu berfokus pada aktivitas repetitif daripada seluruh peran. Hanya 7 persen yang melaporkan bahwa AI telah menyebabkan kehilangan pekerjaan, terutama dalam peran sempit seperti transkripsi, administrasi, analis junior, atau produksi kreatif.

Studi ini juga menemukan adanya ekspektasi perusahaan terhadap produktivitas yang lebih tinggi, namun karyawan menilai AI masih dalam tahap awal dan belum mampu memenuhi harapan tersebut. 

"Karena karyawan bisa mengoperasikan AI, perusahaan percaya bahwa mereka perlu bekerja lebih cepat, lebih efisien, dan lebih banyak. Namun teknologi ini sebenarnya masih pada tahap awal. Optimisme terhadap AI boleh, tetapi bisa rapuh tanpa investasi yang tepat dari perusahaan," jelas Dr. Murphy.

"Karyawan yang menggunakan alat AI ini, masih perlu meninjau dan membuat perubahan yang diperlukan. Dalam beberapa kasus, ini tidak lebih efisien untuk beberapa pekerjaan," lanjutnya.

Survei ini sendiri.mencakup 350 organisasi yang mewakili lebih dari 200.000 karyawan di kawasan Gulf Cooperation Council (GCC).

Selain itu, studi ini mengungkap adanya kekurangan tenaga ahli AI di perusahaan lokal maupun regional. Berdasarkan datanya, perusahaan multinasional dilaporkan telah mengimplementasikan AI pada level enterprise sebesar 42 persen, dibandingkan hanya 7 persen di perusahaan milik GCC.

Lebih lanjut, studi menemukan bahwa 41 persen perusahaan menghabiskan kurang dari US$500.000 atau setara Rp8,2 miliar per tahun untuk AI, 19 persen berinvestasi antara US$500.000–5 juta (Rp8,2–82 miliar), dan 8 persen menghabiskan lebih dari US$5 juta (Rp82 miliar). 

"Ini sangat terfragmentasi. Teknologi sebenarnya tidak memberikan hasil sesuai harapan orang, atasan, atau perusahaan. Dalam beberapa kasus, ini menyebabkan burnout dan kelelahan karyawan," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya