Fenomena Gen Z Menganggur Setelah Lulus Kuliah, Ini Biang Keroknya Menurut Pakar

Ilustrasi wisuda/lulus kuliah.
Sumber :
  • Pixabay/McElspeth

Jakarta, VIVA – Belakangan ini, fenomena tingginya pengangguran di kalangan lulusan baru menjadi sorotan. Gen Z, yang baru menapaki dunia kerja, kini menghadapi realita yang cukup menantang, yaitu sulitnya menemukan pekerjaan sesuai harapan. 

Angka Pengangguran Gen Z di Negara Tetangga RI Melonjak

Teknologi AI yang semakin berkembang, faktor struktural lain, termasuk jumlah sarjana yang terus meningkat, turut memengaruhi fenomena ini.

Sebagaimana diketahui, beberapa dekade terakhir, banyak orang tua mendorong anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan tinggi. Akibatnya, persentase tenaga kerja dengan gelar sarjana kini lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya.

Nezar Patria Akui Industri Media Terguncang akibat AI

Menurut catatan Ed Yardeni, Presiden dan Chief Investment Strategist di Yardeni Research, pengangguran di kalangan lulusan baru berusia 22 hingga 27 tahun dulunya lebih rendah dibandingkan tingkat pengangguran keseluruhan. Namun, sejak sekitar 2015, tren ini mulai berubah, jauh sebelum chatbot OpenAI muncul pada akhir 2022 dan gelombang generatif AI berikutnya.

Data dari New York Fed menunjukkan, tingkat pengangguran lulusan baru sempat melampaui rata-rata nasional pada Desember 2014, yaitu 5,6% dibandingkan 5,5%. Selama bertahun-tahun, kedua angka ini sempat saling menukar posisi. 

AI Bisa Menghancurkan Microsoft

Ilustrasi pengangguran.

Photo :
  • Freepik

Namun saat pandemi, pengangguran lulusan baru konsisten lebih tinggi dari rata-rata, dan sejak awal 2022, perbedaan ini semakin melebar. Sebagai perbandingan, tingkat pengangguran semua sarjana dari segala usia tetap lebih rendah daripada rata-rata nasional selama minimal 35 tahun. 

Data terbaru menunjukkan, pada Juni 2025, tingkat pengangguran lulusan baru mencapai 4,8%, sementara semua pekerja hanya 4,0%. “Kenapa terjadi perubahan ini? Mungkin karena jumlah orang berpendidikan sarjana di tenaga kerja kini meningkat, sehingga pendatang baru bersaing dengan sarjana berpengalaman,” kata Yardeni, seperti dikutip dari Fortune, Selasa, 23 September 2025.

Yardeni menambahkan, persentase orang Amerika dengan gelar sarjana kini 37,5%, naik dari 25,6% pada 2000. Antara 1993–2023, jumlah lulusan perguruan tinggi melonjak 74,9%, sementara yang hanya tamat SMA meningkat 14%.

Analisis lain dari New York Fed menunjukkan lulusan jurusan teknik komputer, ilmu komputer, fisika, dan sistem informasi & manajemen memiliki tingkat pengangguran lebih tinggi dibanding pekerja secara keseluruhan. “Ini menunjukkan terlalu banyak anak muda memilih jurusan komputer dan menghadapi kesulitan lebih dari yang diperkirakan,” jelas Yardeni.

Meskipun bukti semakin banyak yang menunjukkan AI mengurangi peluang kerja entry-level, Yardeni menyoroti survei Cengage Group yang menemukan AI menjadi salah satu alasan lebih banyak perusahaan berencana mempekerjakan jumlah pekerja entry-level sama atau lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.

Namun, National Bureau of Economic Research tahun 2023 justru menemukan AI membuat perusahaan memiliki lebih banyak pekerja level bawah yang bisa memanfaatkan teknologi, sehingga organisasi lebih datar karena keputusan dapat dibuat tanpa manajemen.

Faktor eksternal lain turut memengaruhi, seperti tarif Presiden Donald Trump yang memicu inflasi dan ketidakpastian ekonomi, membuat perusahaan sulit merencanakan ekspansi dan menambah jumlah karyawan. 

Beberapa ekonom Wall Street skeptis soal peran AI. Paul Donovan, Chief Economist UBS, menilai pasar tenaga kerja AS unik. Ia mencatat pekerja muda di Eurozone memiliki pengangguran rendah, Inggris turun, dan Jepang hampir mencapai partisipasi tenaga kerja tertinggi sepanjang masa. 

“Sepertinya sangat tidak mungkin AI secara khusus merugikan prospek pekerjaan pekerja muda AS,” tulisnya.

Setelah bertahun-tahun diyakinkan bahwa kuliah adalah keharusan untuk pekerjaan, tren mulai berubah. Pekerjaan berbasis keterampilan kini lebih diminati Gen Z yang ingin menghindari rutinitas di depan komputer dan mencari karier yang tidak mudah tergantikan AI.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya