Lowongan Menyusut 29 Persen, Nasib Gen Z di Pasar Kerja Makin Suram?

Ilustrasi Job Fair Nasional.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Jakarta, VIVA – Memasuki dunia kerja untuk pertama kalinya memang selalu penuh tantangan. Namun bagi Generasi Z alias Gen Z, situasinya bisa semakin rumit. Mengapa?

ASUS Zenbook S14 OLED (UX5406SA), Laptop Tipis Terbaik Berbasis Teknologi AI

Generasi yang lahir setelah tahun 1997 ini memulai karier di tengah gejolak besar: persaingan lebih ketat, perubahan teknologi yang cepat, serta ketidakpastian jalur pertumbuhan ekonomi.

Laporan terbaru Randstad berdasarkan survei terhadap 11.250 tenaga kerja dan analisis 126 juta lowongan kerja global menunjukkan adanya paradoks di kalangan Gen Z. "Meski mereka dikenal ambisius dan adaptif, kenyataannya peluang kerja entry-level justru menurun signifikan," demikian seperti dikutip dari World Economic Forum.

Parkir Liar Mulai Dipantau Pakai AI

Analisis Randstad mengungkap bahwa jumlah lowongan kerja entry-level secara global turun 29 persen sejak Januari 2024. Kondisi ini memperketat persaingan dan membuat banyak lulusan baru harus menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan aspirasi jangka panjang mereka. 

Hampir separuh responden Gen Z menyatakan posisi saat ini tidak sejalan dengan “dream career” mereka. Data juga menunjukkan Gen Z lebih cepat berpindah kerja dibanding generasi sebelumnya. 

AI Masuk Pasar Indonesia, Industri Fintech dan Asuransi Siap Manfaatkan Teknologi Baru

Ilustrasi stres kerja.

Photo :

Rata-rata masa kerja mereka hanya 1,1 tahun dalam lima tahun pertama karier. Angka ini lebih singkat dibanding milenial (1,8 tahun), Gen X (2,8 tahun), dan baby boomer (2,9 tahun).

Selain itu, sekitar dua dari lima responden Gen Z merasa latar belakang pendidikan menjadi hambatan dalam meraih karier impian. Angka ini lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Sebanyak 40 persen juga menilai latar belakang pribadi, termasuk kondisi keluarga atau demografi, membatasi pilihan karier mereka.

Sebagai digital native, Gen Z relatif lebih akrab dengan teknologi. Lebih dari setengah (55 persen) mengaku sudah menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menyelesaikan masalah di tempat kerja, tertinggi dibanding generasi lain dan naik dari 48 persen pada tahun sebelumnya.

Mereka juga menunjukkan antusiasme terhadap potensi AI, dengan 60 persen menyatakan optimis, meski sebagian tetap khawatir. Menariknya, Gen Z juga menjadi kelompok dengan proporsi tertinggi yang khawatir AI dapat menggantikan pekerjaan mereka (46 persen).

Kesenjangan akses juga terlihat, di mana sebanyak 46 persen laki-laki Gen Z mengaku mendapat pelatihan AI di tempat kerja, namun hanya 38 persen perempuan yang memperoleh kesempatan serupa.

Meski menghadapi hambatan, Gen Z tetap menunjukkan fokus pada masa depan. Dua dari lima responden menyatakan selalu mempertimbangkan tujuan karier jangka panjang saat memutuskan pindah kerja. Namun, lebih dari separuh (54 persen) justru sedang aktif mencari pekerjaan baru, dan hanya 11 persen berencana bertahan lama di posisi saat ini.

Terkait ini, Randstad menyarankan empat langkah bagi organisasi untuk mengoptimalkan potensi Gen Z. Di antaranya, menyediakan jalur karier dengan pencapaian yang terukur, berinvestasi pada pengembangan karier awal, memodernisasi strategi pembelajaran termasuk penggunaan AI, serta membangun budaya yang meningkatkan kepercayaan diri.

Gen Z pada dasarnya adalah generasi ambisius, cepat belajar, dan terbuka terhadap teknologi. Namun mereka membutuhkan lebih dari sekadar gaji: tujuan, arah yang jelas, serta kesempatan yang setara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya