Cukai Rokok 2026 Tidak Naik, GAPPRI: Selamatkan Jutaan Pekerja IHT Nasional

Ilustrasi pekerja pabrik rokok.
Sumber :
  • Dokumentasi Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.

Jakarta, VIVA – Keputusan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2026, meraup banyak dukungan dari Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, dan pimpinan Komisi XI DPR RI. 

Wamenperin Apresiasi Menkeu Purbaya Tahan Kenaikan Cukai Rokok: Langkah Strategis!

Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, juga turut mengapresiasi langkah Purbaya yang menurutnya bakal menyelamatkan penghidupan jutaan pekerja yang bergantung pada sektor industri hasil tembakau (IHT) nasional.

"Negara hadir untuk melindungi warga negaranya yang mempertaruhkan haknya untuk bekerja," kata Henry dalam keterangannya, Kamis, 2 Oktober 2025.

Jaga Pasar Domestik, Purbaya Bakal 'Binasakan' Rokok Ilegal

Tembakau kering yang dilinting untuk menjadi rokok di pabrik.

Photo :
  • VIVA/ Yeni Lestari.

Dia menilai, industri kretek merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan, serta aturan turunannya.

Beri Kepastian ke Industri, Airlangga Dukung Purbaya Tak Naikkan Cukai Rokok

"Berbagai tekanan regulasi terhadap industri kretek nasional dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka, GAPPRI meminta pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda dari negara lain," ujar Henry.

Namun, menurutnya pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk meninjau ulang beberapa regulasi. Salah satunya, polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 - 463 berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia. 

"Kami meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar tidak memaksakan diimplementasikannya PP 28/2024 di saat situasi geo politik dan geo ekonomi global berdampak pada situasi di tanah air saat ini," ujarnya.

Dalam catatan GAPPRI, PP 28/2024 dinilai cacat hukum. Pasalnya, proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT). 

"Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja," ujarnya.

GAPPRI mensinyalir, pemaksaan diimplementasikannya PP 28/2024 oleh Kemenkes lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ketimbang melindungi kepentingan masyarakat yang terdampak. Padahal, banyak pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini, sehingga seharusnya memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya