Konsumsi Rokok Tinggi Bikin Defisit BPJS Kesehatan Membengkak

BPJS Kesehatan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

VIVA – Pemerintah Indonesia baru-baru ini berencana menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) hingga 35 persen di awal tahun 2020. Langkah tersebut diaperesiasi oleh sejumlah pihak salah satunya dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

Cukai Rokok Tak Naik pada 2026 Jaga Stabilitas Industri Hasil Tembakau

“Kami mengapresiasi terbitnya kebijakan yang menaikkan cukai rokok hingga 23 persen. Hal ini menunjukkan dukungan dari Kementerian Keuangan untuk membantu Kementerian Kesehatan menekan prevalensi perokok pemula," ungkap Policy and Planning Specialist, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI),  Yurdhina Meilissa, dalam keterangan pers yang diterima VIVA, Rabu 18 September 2019. 

Yurdhina melanjutkan, kebijakan ini memelihara momentum yang sudah diciptakan oleh Presiden Joko Widodo untuk menurunkan keterjangkauan harga rokok sejak tahun 2014 seiring diberlakukannya kenaikan tarif cukai setiap tahun. Namun, kita masih harus menunggu apakah kenaikan tertinggi ditetapkan untuk jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang menguasai pangsa pasar paling besar. 

Dinilai Tak Berpihak, Sejumlah Pedagang Gelar Aksi Protes Tolak Raperda Kawasan Anti Rokok

"Lalu, kita juga perlu memastikan pemberlakuan kembali kebijakan simplifikasi golongan cukai. Kedua hal ini akan mendorong tercapainya target RPJMN 2020-2024 sebesar 8,7 persen untuk indikator perokok pemula usia 10-18 tahun.” kata dia. 

Selain itu, kenaikan cukai rokok berkontribusi terhadap upaya pemerintah menekan defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Yudrhina mengatakan, konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia menyebabkan BPJS Kesehatan menanggung biaya kesehatan yang besar. 

Biro Hukum Sebut Pembahasan Raperda KTR Masih Dinamis, Aspirasi Rakyat Ditampung

"Karena lebih dari 21 persen anggaran BPJS tersedot untuk mengobati penyakit akibat rokok. Di saat yang bersamaan, konsumsi rokok yang tinggi pada keluarga berkorelasi pada ketidakpatuhan membayar iuran JKN. Kami berharap kedua masalah ini dapat teratasi sehingga BPJS Kesehatan dapat terbantu," kata dia. 

Yurdhina juga menjelaskan, harga rokok yang murah juga menyebabkan prevalensi perokok, termasuk perokok anak meningkat, membebani keluarga miskin, meningkatkan risiko stunting, membebani pembangunan kesehatan dan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Harga rokok murah membebani anggaran kesehatan pemerintah,menghambat perbaikan kualitas sumber daya manusia dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Aksi demo pedagang menolak Raperda KTR di kawasan Tugu Tani

Polemik Raperda Kawasan Tanpa Rokok: Pasal Larangan Penjualan Lolos, Meski Pedagang Protes

Rencana pengesahan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk para pedagang.

img_title
VIVA.co.id
4 Oktober 2025