- ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Petugas Brimob yang mengawal konvoi dibuat kewalahan, sebab Jakmania dan OTK saling berbalas serangan. Bahkan, mereka sempat perang mercon. Akibat bentrokan ini, ruas jalan Tol Jagorawi di kedua arah sempat lumpuh.
Beberapa insiden ini, merupakan bagian kecil saja dari begitu banyaknya aksi kekerasan yang melibatkan suporter sepakbola. Tidak aneh jika aksi kekerasan suporter bak sesuatu yang tidak terpisahkan dalam sepakbola Indonesia.
Lantas mengapa suporter Indonesia seolah tak pernah mau berhenti bertindak beringas. Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, menganggap terus berulangnya kasus kekerasan suporter sebagai indikasi bahwa mereka menganggap bukan lagi hal yang asing, dan menjurus menjadi budaya. Mereka tak cuma belajar dari dalam negeri, tetapi juga yang terjadi di kalangan suporter Inggris.
"Contohnya di Inggris, fenomena praktek kekerasan antarsuporter sepakbola kerap terjadi dan disebut sebagai holiganism. Selain itu sebenarnya berkembang juga subkultur Ultras di kalangan suporter sepakbola yang lebih menggambarkan penggunaan seni untuk mendukung para pemainnya. Sehingga kelompok suporter sepakbola telah menjadi subkultur tersendiri," tuturnya.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, juga punya pandangan akan masalah ini. Menurut dia, dalam kasus suporter di Indonesia, fanatisme daerah menjadi salah satu faktor utama. Menjadi kelewat batas karena ada pandangan dari suporter yang menganggap kelompok berbeda sebagai musuh.
"Dari mana datangnya kekerasan? Saya lihat datang dari fanatisme yang berlebihan. Dalam agama juga, kita tahu bahwa semua yang berlebihan, tidak baik," ujar pria yang akrab disapa Kang Emil itu.
Meski fanatisme daerah dianggap sebagai salah satu pemicu, namun pengamat sepakbola Indonesia, Budiarto Shambazy, punya pandangan lain. Menurut dia, rivalitas dalam sepakbola justru bagus, hanya memang cara mengelolanya mesti bagus.
"Kalau di Indonesia ini karena fanatisme daerah. Sangat kental. Apalagi, jaman perserikatan. Itu kan alasannya bermacam-macam. Tapi, fanatisme daerah itu bukan hal negatif. Kalau dirawat, dijaga malah menguntungkan untuk sepakbola," jelas Budiarto.
Menanggapi masalah ini, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmyadi, seolah tak ingin disalahkan. Dia menyebut pembinaan suporter bukanlah tanggung jawab pihaknya, sehingga justru meminta kepada pemerintah daerah agar bisa mengambil alih masalah tersebut.