“Pembangkangan” Menkes terhadap Putusan MA tentang Vaksin Halal

Edi Gustia B. Lubis, SH, Advokat/Kuasa Hukum Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI)
Sumber :
  • vstory

Selain dari pada jenis vaksin tersebut di atas, maka tidak satu pun jenis vaksin yang ditetapkan telah memiliki sertifikat Halal, jenis vaksin tersebut tidak dijamin kehalalannya, yang dimaknai bahwa Menteri Kesehatan tidak memberikan perlindungan dan jaminan atas kehalalan jenis vaksin yang dipergunakan dalam Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 31P/HUM/2022 tanggal 14 April 2022, yang mana jenis vaksin dimaksud adalah yang diproduksi oleh sebagai berikut:
a. AstraZeneca,
b. CanSino Biologics Inc.,
c. Johnson and Johnson,
d. Moderna,
e. Novavax Inc,
f. Pfizer Inc. and BioNTech
g. China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm).

BGN Bilang Penyebab Siswi SMKN 1 Cihampelas Meninggal Bukan karena MBG

Bahwa terdapat fakta hukum tentang adanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 8 Tahun 2022 yang menyatakan tentang kehalalan jenis vaksin yang diproduksi oleh PT Biotis Pharmaceuticals & Universitas Airlangga Surabaya atau yang dikenal dengan vaksin ‘Merah Putih’, namun Menteri Kesehatan dengan sengaja tidak memasukkan jenis vaksin dimaksud dalam Keputusan Menteri Kesehatan NOMOR HK.01.07/MENKES/1149/2022 TENTANG PENETAPAN JENIS VAKSIN UNTUK PELAKSANAAN VAKSINASI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19), padahal menurut Pasal 2 angka 6 Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal Vaksin COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dapat diproduksi dan tersedia di dalam negeri, Pemerintah mengutamakan pengadaan Vaksin COVID-19 dari dalam negeri”.

Yang mana ketentuan dimaksud dengan sengaja tidak dipatuhi oleh Menteri Kesehatan RI dengan tidak mencantumkannya, Menteri Kesehatan dinilai membuat tafsiran sendiri tanpa dasar hukum apapun dengan menyatakan bahwa kehalalan jenis vaksin itu seolah-olah hanya bisa diberikan sepanjang memenuhi persyaratan keamanan (safety), mutu (quality), dan khasiat (efficacy), serta efektivitas vaksin COVID-19, yang jelas sikap perbuatan dimaksud tidak memiliki dasar hukum sama sekali.

RUU Kepariwisataan Disahkan DPR jadi Undang-Undang

Menteri Kesehatan juga melanggar ketentuan Pasal Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang berbunyi lengkapnya:
1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi:
a. bangkai;
b. darah;
c. babi; dan/atau
d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat,
2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.