Dorongan AI China Picu Skeptisisme Global
- Creative Tinge
Beijing, VIVA – Pada akhir April, Beijing menjadi tuan rumah lomba setengah maraton pertama di dunia khusus untuk robot humanoid—sebuah langkah simbolis yang menegaskan ambisi China untuk memimpin dalam bidang kecerdasan buatan (AI). Presiden Xi Jinping menegaskan kembali bahwa AI adalah prioritas strategis nasional saat sesi studi kolektif ke-20 Partai Komunis China pada 25 April. Empat hari kemudian, dalam kunjungannya ke Shanghai, Xi mendesak kota tersebut untuk mempercepat langkahnya menjadi pusat teknologi global. Ia juga mengunjungi Model Space, pusat inkubasi AI yang menampung lebih dari 100 perusahaan yang bergerak di bidang robotika dan model bahasa besar (LLM). Namun, di balik visi besar ini, ambisi AI China menghadapi banyak tantangan serius.
Seperti dilansir Greek City Times, Senin 26 Mei 2025, upaya robotika China merupakan bagian inti dari strategi Made in China 2025, yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada teknologi Barat dan meraih dominasi di industri berteknologi tinggi. Namun, sejumlah peristiwa baru-baru ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara retorika politik dan kemampuan nyata di lapangan. Pada 9 Februari, dalam acara Gala Festival Musim Semi di Tianjin, sebuah robot humanoid mengalami gangguan saat tampil menari secara sinkron. Robot itu keluar dari barisan dan melaju ke arah penonton.
Petugas keamanan dengan sigap mengamankannya sebelum ada yang terluka. Beberapa minggu kemudian, pada 19 April, sebanyak 21 robot humanoid mengikuti lomba Yizhuang Half Marathon di Beijing. Media pemerintah menyebut acara ini sebagai pencapaian besar, meskipun publik masih ragu akan kemajuan nyata di bidang robotika.
Namun, rekaman yang bocor ke publik justru meruntuhkan narasi resmi pemerintah. Dalam lomba tersebut, satu robot roboh di garis start, sementara robot lain menabrak pagar pembatas dan menjatuhkan pawangnya. Insiden itu jadi bahan olok-olok dan menambah keraguan atas kapabilitas teknologi China. Pada Mei, insiden lain terjadi di sebuah laboratorium robotika di daratan utama China, ketika robot humanoid mengalami malfungsi, bergerak secara liar, merusak peralatan, sebelum akhirnya dimatikan paksa. Keraguan semakin dalam setelah pameran teknologi di Guangzhou, di mana robot humanoid yang diklaim sebagai “terobosan” ternyata hanyalah manusia berkostum logam yang meniru gerakan mekanik.
Dorongan besar China dalam AI telah memicu skeptisisme luas. Banyak pihak mempertanyakan apakah kebangkitan teknologi tersebut benar-benar kemajuan atau sekadar ilusi. Seiring ekspansi sektor AI, muncul tren baru yang tak kalah mengundang perhatian—munculnya robot humanoid sebagai pendamping, khususnya yang didesain menyerupai perempuan dan dipasarkan sebagai pasangan bagi populasi pria lajang di China yang terus meningkat. Jauh dari sekadar gimmick teknologi, tren ini mencerminkan persoalan sosial yang lebih dalam, yang tampaknya lebih suka ditutupi pemerintah dengan solusi teknologi dibandingkan dibenahi lewat reformasi.
Ketimpangan gender di China masih sangat mencolok, dengan kelebihan lebih dari 30 juta pria dibanding perempuan, akibat kebijakan demografis selama beberapa dekade. Dampak sosialnya terlihat jelas—angka pernikahan menurun, dan pemerintah daerah berlomba menawarkan insentif finansial agar warganya menikah. Mulai dari bonus uang tunai hingga pusat pendaftaran nikah di ruang publik, semua ini menunjukkan kekhawatiran atas stabilitas sosial. Namun, para pengkritik menilai pendekatan ini gagal menyentuh akar masalah struktural dalam masyarakat China.
Ilustrasi populasi warga China.
- The Irish Time
Industri robotika konsumen di China kini membidik pasar yang menggiurkan—robot perempuan humanoid yang dipasarkan sebagai pasangan hidup. Perusahaan seperti EX Robots telah meluncurkan model hiper-realistis yang bisa meniru ekspresi wajah, merespons ucapan, bahkan mensimulasikan interaksi emosional. Robot-robot ini sering dipromosikan sebagai pengganti hubungan manusia, dengan kepribadian yang bisa diprogram mulai dari ceria hingga patuh.
Jauh dari fiksi ilmiah, media yang berafiliasi dengan negara pun melaporkan perkembangan ini dan menggambarkan robot pasangan sebagai solusi potensial untuk ketimpangan gender dan angka kelahiran yang menurun. Sementara itu, generasi muda China makin tenggelam dalam isolasi digital. Para analis memperingatkan bahwa hal ini dapat mempersulit mobilisasi massal untuk agenda nasional. Meskipun Beijing terus mengedepankan kemajuan AI, kritik menyebut bahwa “pasangan buatan” hanyalah tambalan permukaan untuk masalah sosial yang lebih dalam. Di tengah tekanan ekonomi dan perubahan nilai budaya, tingginya biaya menikah dan membesarkan anak tetap menjadi hambatan besar yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan robot.
Pendekatan China terhadap AI dan robotika mencerminkan strategi kontrol yang lebih luas. Di tengah beban ekonomi yang masih berat, negara justru mendorong konsep pendamping buatan, mencerminkan pergeseran nilai sosial. Pengawasan yang sebelumnya hanya lewat kamera kini meluas ke robot humanoid dengan kemampuan pengenalan wajah dan pelacakan perilaku. Di kota-kota seperti Shanghai dan Shenzhen, robot-robot ini memantau pergerakan masyarakat sambil tampil sebagai asisten yang membantu.
Kenaikan teknologi pengawasan berbasis AI ini menimbulkan kekhawatiran baru soal privasi dan kebebasan individu, menandai masa depan di mana pengawasan digital kian dalam dan koneksi manusia digantikan oleh interaksi yang diprogram. Para pengkritik menilai tren ini semakin memperkuat kendali negara atas kehidupan sehari-hari.
Strategi pengawasan robotik China selaras dengan upaya digitalisasi kontrol sosial yang lebih luas. Laporan Freedom House tahun 2023 menempatkan China sebagai negara dengan kebebasan internet terendah di dunia, hanya memperoleh skor 10 dari 100. Data dari perusahaan teknologi lokal sering kali dapat diakses oleh aparat hukum tanpa pengawasan, memperkuat sistem pengawasan negara. Saat lockdown COVID-19, robot otonom berpatroli di jalan-jalan, menegakkan jam malam, dan memindai suhu tubuh warga.
Di Xinjiang, pengenalan wajah dikombinasikan dengan pelacakan biometrik untuk memantau etnis Uighur. Meskipun kenaikan robot humanoid sering disebut sebagai tonggak AI, kenyataannya jauh berbeda jika dilihat lebih dekat. Mesin-mesin ini bukan dirancang untuk kenyamanan—melainkan untuk pemantauan, kepatuhan, dan pengendalian. Di China, perbedaan pendapat bisa dianggap kriminal, dan pengenalan wajah menentukan akses ke sekolah, transportasi, bahkan ruang publik.
Teknologi biometrik.
- eLearning Industry
Robot humanoid bukan masa depan—mereka sudah menjadi kenyataan, terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari untuk memperkuat pengawasan negara. Kehadiran mereka menandakan era di mana setiap gerak-gerik diawasi, dan otonomi pribadi semakin terkikis.