Kebangkitan Terencana China dan Manuver Agresifnya di Asia Timur-Selatan
- scmp.com
Jakarta, VIVA – Dalam catatan sejarah perubahan kekuatan global, hanya sedikit kisah yang sedramatis dan sepenting kebangkitan China. Dari negara miskin menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia, transformasi China dalam beberapa dekade terakhir telah mengubah peta strategis Asia.
Namun, di balik keberhasilan ekonomi yang menakjubkan itu, tersembunyi sikap geopolitik yang semakin agresif—yang kini menimbulkan kecemasan di antara negara-negara tetangganya dan memicu ketegangan baru di kawasan Indo-Pasifik.
Dilansir Mizzima, Minggu 6 Juli 2025, inti dari perubahan ini terletak pada pergeseran visi strategis. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China menganut filosofi kehati-hatian: "sembunyikan kekuatan, tunggu waktu yang tepat."
Namun sejak Xi Jinping berkuasa pada 2012, sikap hati-hati itu berubah menjadi semangat "Mimpi China"—sebuah visi besar yang tak hanya berbicara soal kemakmuran ekonomi dan kebangkitan nasional, tapi juga dominasi militer, pengaruh regional, hingga ambisi global.
Langkah-langkah Beijing menunjukkan bahwa China bukan lagi negara yang bersikap pasif. Di Laut China Selatan, China telah mempersenjatai terumbu karang yang disengketakan, mengerahkan kapal penjaga pantai dan milisi maritim, serta menciptakan zona terlarang lewat strategi penolakan akses.
Ini bukan sekadar unjuk gigi, melainkan upaya sadar untuk memperluas kedalaman strategis, menghalangi akses militer negara lain, dan memperkuat kontrol atas jalur perdagangan serta cadangan energi. Tujuannya jelas: mengubah wilayah laut yang disengketakan menjadi zona penyangga yang dikuasai China, di mana bahkan angkatan laut terkuat dunia pun tak bisa masuk begitu saja.
Eskalasi terbaru menunjukkan bagaimana China membangun postur strategisnya di Asia. Beijing secara sistematis menggunakan tekanan untuk menegaskan klaim wilayah lautnya. Polanya sudah bisa ditebak: pertama, menyatakan klaim kedaulatan; lalu, membiasakan kehadiran militer dan membangun infrastruktur yang bisa digunakan ganda (sipil dan militer); akhirnya, memperkuat kontrol lewat pamer kekuatan dan tekanan diplomatik.
Pendekatan ini—tertata, agresif, dan sering kali sepihak—adalah bagian dari strategi besar untuk mengukuhkan dominasi regional atas nama "kebangkitan nasional China."
VIVA Militer: Kapal selam nuklir China
- gcaptain.com
Di Selat Taiwan, intensitas provokasi militer China sudah mencapai level mengkhawatirkan. Obsesinya terhadap Taiwan mencerminkan ambisi integrasi wilayah dan pencegahan terhadap separatisme.
Baru beberapa hari lalu, China mengerahkan 74 pesawat militer, 61 di antaranya melintasi garis median—batas tidak resmi yang sebelumnya dianggap sebagai penyangga. Enam kapal perang juga turut serta, memperjelas strategi "mengepung dan mencekik": mengguncang mental rakyat Taiwan, menguras sumber daya pertahanan, dan menyebarkan tekanan psikologis secara global.
Hsiao Bi-khim, penasihat kebijakan luar negeri Taiwan, menegaskan bahwa Taiwan kini beralih ke strategi pertahanan asimetris, dengan investasi pada teknologi dan taktik yang dirancang untuk mengimbangi kekuatan PLA yang jumlahnya jauh lebih besar.
Namun, strategi China terhadap Taiwan tak cuma lewat militer, tapi juga ekonomi, diplomasi, dan narasi. Pesannya jelas: Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah China, dan menjaga status quo semakin sulit dilakukan.
Latihan militer laut China di dekat Jepang pada Juni 2025 juga menandai babak baru. Untuk pertama kalinya, dua kapal induk China, Shandong dan Liaoning, melakukan manuver bersama di Samudra Pasifik. Mereka meluncurkan lebih dari 500 sorti jet tempur dan masuk ke zona ekonomi eksklusif Jepang.
Liaoning bahkan menembus rantai pulau kedua, yang menurut doktrin pertahanan AS dan Jepang adalah batas simbolis strategis antara Jepang dan Guam.
Ekspansi angkatan laut China memaksa Jepang mengeluarkan pernyataan publik langka soal keberadaan kapal induk dan pergerakan jet tempur China yang mendekati wilayah udaranya.
Dengan memperluas batas operasionalnya, China mendorong batas norma aktivitas militer, dari perairan teritorial hingga ke jalur laut internasional.
Kekhawatiran Jepang bukan hanya karena jaraknya yang dekat, tapi karena norma maritim internasional perlahan terkikis. Meski Beijing mengklaim bahwa semua tindakannya sesuai hukum internasional, skala operasinya dan ketidaktertiban dalam prosedur membuktikan sebaliknya. Ini adalah "teater strategis" dengan tujuan geopolitik.
Laut China Selatan Menjadi Titik Utama Ekspansi China
Pada 20 Juni 2025, kapal penjaga pantai China menyemprot kapal pemerintah Filipina dengan meriam air di dekat Karang Scarborough, mengingatkan kembali pada insiden-insiden sebelumnya.
China menyebutnya sebagai "penegakan rutin di wilayah teritorial yang melekat." Namun kenyataannya, ini adalah bentuk intimidasi yang terang-terangan, dibungkus dengan interpretasi hukum laut yang sepihak.
Seperti banyak negara ASEAN lainnya, Filipina terjebak antara mempertahankan kedaulatan atau menghindari konflik terbuka. Strategi China begitu halus: tidak perlu perang terbuka, cukup tekanan konstan untuk mengubah status quo dan melemahkan klaim negara lain.
Ini adalah "perang hukum" tanpa peluru, tapi berdampak nyata pada kedaulatan dan kebebasan laut.
Seluruh insiden ini menunjukkan kontradiksi tajam antara retorika resmi China dan kenyataannya di lapangan. Sementara Beijing terus menyuarakan "kebangkitan damai" dan diplomasi lunak dalam berbagai dokumen resmi, kenyataannya China semakin mengandalkan kekuatan militer untuk membentuk lingkungan strategisnya.
Kontradiksi ini menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan, baik di kawasan maupun di mata dunia—terlebih ketika China menyebut Laut China Selatan, Taiwan, dan Laut China Timur sebagai "kepentingan inti" yang sejajar dengan kedaulatan nasional.
Di balik semua tindakan ini, terdapat pola tekanan hibrida: ekspansi laut, jebakan ekonomi, dan ambiguitas diplomatik. China membangun sabuk pertahanan maritim di sepanjang garis pantainya, menggunakan pulau buatan, terumbu karang yang dipersenjatai, dan sistem rudal jarak jauh untuk menciptakan sabuk Anti-Akses dan Penolakan Wilayah (A2/AD).
Strategi ini tak hanya menghalangi masuknya armada asing, tapi juga mempersempit pengaruh AS di kawasan, menjadikan wilayah-wilayah sengketa sebagai “wilayah kendali” China.
Tujuan utama Beijing tampaknya adalah merombak tatanan kekuasaan regional. Dengan mempersenjatai wilayah laut yang disengketakan, menakut-nakuti angkatan laut tetangga, dan terus memodernisasi armada lautnya, China berupaya mengurangi kehadiran asing—terutama AS—dan menciptakan tatanan baru di mana negara-negara kecil bergantung pada perlindungan China.
Semua ini adalah bagian dari visi "Mimpi China" Xi Jinping: bukan sekadar membuat China hadir di panggung dunia, tapi menjadikannya pengatur utama. Dengan ekonomi yang menopang anggaran militer besar dan modernisasi armada laut, cara China memaksakan pengaruhnya kini tak lagi halus—melainkan terang-terangan, penuh perhitungan, dan tanpa rasa bersalah.