Aturan Batas Gramasi Kepemilikan Narkotika sebagai Penyalahguna Digugat ke MA
- ANTARA FOTO
Jakarta, VIVA – Seorang pemuda asal Bali bernama Agung mengajukan permohonan uji materiil terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010, yang selama ini menjadi acuan dalam menetapkan batas kuantitatif narkotika dalam proses hukum.
Pemohon menggugat legalitas angka batas gramasi narkotika bagi penyalahguna, khususnya ganja lima gram, yang dijadikan penentu apakah seseorang berhak direhabilitasi atau justru dipidana penjara.
Permohonan diajukan ke Mahkamah Agung oleh tim kuasa hukum dari SITOMGUM Law Firm secara pro bono. Dalam gugatannya, pemohon menyoroti batas lima gram ganja yang dijadikan penentu apakah seseorang dikategorikan sebagai pengguna dan layak direhabilitasi, atau justru dipidana sebagai pengedar.
Pemohon merujuk argumentasi  bahwa  SEMA 04/2010 telah melampaui  kewenangan hukum, dan bertentangan dengan Pasal 4 huruf d UURI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang secara eksplisit menjamin rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.
"Saat seseorang ditangkap dengan 5,94 gram ganja, ia langsung dikualifikasikan seolah sebagai pengedar, tanpa mempertimbangkan hasil asesmen ketergantungan," kata Singgih Tomi  Gumilang, kuasa  hukum  pemohon. Â
"Padahal hasil Tim Asesmen Terpadu Provinsi Bali menyatakan klien kami adalah pecandu aktif, dan UU Narkotika secara tegas mengamanatkan rehabilitasi, bukan pemenjaraan," sambungnya
SEMA 04/2010 dinilai menetapkan norma terselubung tanpa dasar ilmiah dan kewenangan legislasi, yang secara de facto telah membatasi kewenangan hakim dan  hak konstitusional tersangka atau terdakwa narkotika.
"Surat edaran ini telah menjadi proxy law yang digunakan secara rigid,  melumpuhkan prinsip rehabilitative justice. Ini berbahaya bagi siapa pun yang  membutuhkan perawatan, bukan hukuman," kata Rudhy Wedhasmara, advokat lainnya menambahkan.
Anang Iskandar ahli hukum narkotika yang juga mantan mantan Kepala BNN, menilai penggunaan pendekatan gramasi adalah paradigma represif. Â
"Hukum narkotika itu menggunakan pendekatan kesehatan dan pidana khusus dengan  semangat membangun kesehatan publik. Rehabilitasi adalah bentuk pidana juga,  tetapi berbasis penyelamatan. Tidak semua dikurung," tegasnya.
Permohonan ini diharapkan dapat menjadi momentum korektif terhadap pendekatan hukum yang tidak lagi sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan perlindungan terhadap korban ketergantungan narkotika.