Mahfud MD: Open Legal Policy Bukan Ranah MK, Tidak Boleh Ikut Campur
- Yeni Lestari/VIVA
Jakarta, VIVA – Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengatakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy untuk menentukan materi muatan dalam undang-undang bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kata dia, open legal policy merupakan kewenangan bagi pembentuk Undang-undang yakni pemerintah dan DPR untuk mengatur materi muatan dalam UU, terutama jika konstitusi tidak memberikan batasan yang jelas.Â
Pembentuk UU memiliki keleluasaan dalam menentukan bagaimana suatu ketentuan dalam undang-undang diatur, selama tidak bertentangan dengan konstitusi.Â
Hal itu disampaikan Mahfud saat menghadiri acara diskusi publik terkait dampak putusan MK terhadap pemilu serentak 2029 yang digelar DPP Partai Golkar, Kamis, 24 Juli 2025.
"Oh iya (bukan ranah MK). Sejak dulu, yang buat open legal policy itu secara resmi pada zaman saya, waktu itu ketika terjadi pengujian tentang pemilu supaya diubah sistemnya, supaya ada calon independen di presiden dan sebagainya, kita buat putusan pertama itu bahwa dalam prinsip hukum tata negara itu MK tidak boleh mencampuri apa yang disebut open legal policy," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan MK tidak boleh ikut campur terhadap UU jika tidak ada pelanggaran konstitusi. MK kata dia tidak berhak membatalkan UU yang dianggap buruk bagi masyarakat.
"MK tidak boleh mencampuri apa yang kata MK jelek, tapi tidak melanggar konstitusi. Jelek tidak apa-apa tapi tidak melanggar konstitusi karena tugas MK itu membatalkan yang salah, bukan membatalkan yang menurut dia jelek. Jelek (atau bagusnya UU) itu kan pilihan politik dari DPR dan pemerintah," ungkap Mahfud.
Dalam kesempatan itu, Mahfud mengaku kena tuding dan semprot imbas putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah.Â
"Memang menimbulkan kontroversi, menimbulkan tudingan-tudingan. Termasuk saya kena tuding, kena semprot juga itu, karena saya mantan Ketua MK," kata Mahfud di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat.
