Penyerahan 800 Ribu Hektare Lahan Sawit Sitaan Negara ke Agrinas Palma Tuai Sorotan

Kebun Kelapa Sawit
Sumber :
  • Dokumentasi PT NSS.

Bogor, VIVA –  Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) menyerahkan hasil penertiban kawasan hutan seluas lebih dari 800 ribu hektar kepada PT Agrinas Palma Nusantara, anak usaha BUMN yang bergerak di sektor agribisnis. 

Nyoman Adhi Dorong Peran BPK Lebih Strategis Dengan Cara Ini

Keberhasilan negara merebut kembali ratusan ribu hektare lahan sawit ilegal patut diapresiasi. Namun, langkah lanjutan pemerintah yang menyerahkan pengelolaan lahan tersebut ke PT Agrinas Palma Nusantara tanpa proses lelang dan kejelasan hukum menuai kritik tajam.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyampaikan keprihatinannya atas keputusan tersebut, terutama setelah diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto yang mengatur pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).

Totok Sucahyo: BDA di BPK Belum Cukup Hasilkan Kualitas Audit Lebih Tinggi

Iskandar mengatakan niat Presiden membentuk Satgas PKH untuk menyelamatkan kawasan hutan dari sawit ilegal adalah keputusan tepat. Akan tetapi, menurut dokumen dan analisis Indonesian Audit Watch, sebanyak 833.413 hektare lahan sawit yang ditertibkan itu tidak dikembalikan ke Perum Perhutani atau KLHK, tapi langsung dititipkan ke PT Agrinas Palma Nusantara. 

"Ini entitas anak perusahaan BUMN yang belum memiliki HGU, belum pernah mengelola hutan, dan belum diuji publik," kata Iskandar dalam keterangannya kepada wartawan di Bogor, Kamis 31 Juli 2025,

Bacakan Pledoi, Tom Lembong SInggung Hasil Audit BPKP dalam Kasus Korupsi Gula

Menurutnya, penyerahan aset sebesar itu tanpa lelang atau tender terbuka, jelas berpotensi melanggar sejumlah peraturan penting, diantaranya UU No. 1 tahun 2004, pada pasal 34, menyebut pengalihan aset negara harus melalui mekanisme lelang. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2021 yang mengatur pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) butuh legalitas dan sertifikasi.

Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2021, menyebut pelepasan kawasan hutan harus definitif, bukan status “abu-abu”, dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011, terkait penetapan kawasan hutan tidak bisa spekulatif.

"Apalagi, data BPN menunjukkan bahwa seluruh lahan itu belum bersertifikat atas nama negara. Belum ada dasar hukum, tapi sudah dialihkan ke BUMN non-perum, ini sudah masuk zona merah tata kelola negara," tegasnya.

Audit Investigatif

Iskandar mengatakan, dengan luas lahan sawit mencapai 833.413 hektar, dan produktivitas mencapai 20 ton TBS/ha/tahun dan harga TBS Rp2 ribu/kg,  maka potensi bruto pendapatan adalah kisaran Rp33,33 triliun/tahun.

Maka secara faktual sejak Maret–Juli 2025, terhitung lima bulan produksi maka ditemukan produksi ideal: ±5,98 juta ton, dengan pendapatan kotor ±Rp11,96 triliun, dan dividen 5 persen ke negara atau sekitar ±Rp597 miliar dengan skenario pesimistis produksi hanya 50 persen, maka harus tetap ada pencatatan potensi Rp6 triliun lebih di dalam kas Agrinas.

"Pertanyaannya, apakah dana sebesar itu benar-benar masuk ke kas negara?" tanya Iskandar.

Sementara soal keahlian, Agrinas lanjut Iskandar, memang bergerak di sektor sawit, tapi hanya sebatas industri hilir dan komersial murni.  "Tidak punya basis pengalaman dalam agroforestri, konservasi, atau pemberdayaan sosial," ujarnya. 

Sedangkan aspek legalitas, menurut Iskandar, sampai saat ini, Agrinas belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan sebagaimana diamanatkan PP No. 24 tahun 2021. Artinya, semua lahan sawit yang kini mereka kelola masih masuk dalam kategori "hutan negara" yang belum bisa dialihkan. "Perhutani tidak punya masalah ini karena sudah sah mengelola hutan negara sejak lama," paparnya.

Atas hal ini, Indonesian Audit Watch merekomendasikan, agar segera dilakukan audit investigatif oleh BPK, terhadap aliran dana Agrinas, legalitas penyerahan kebun, dan simulasi kerugian negara.

IAW juga meminta Kejaksaan Agung secepatnya membekukan aktivitas Agrinas, hingga status hukum dinyatakan sah. IAW juga meminta Presiden Prabowo meninjau ulang keputusan Satgas PKH, agar dikembalikan ke Perhutani, lalu diterapkan skema rehabilitasi 60 persen, serta disisakan 40 persen untuk kemitraan rakyat.

Amanah Lahan Titipan

Direktur Operasi PT Agrinas Palma Nusantara, Ospin Sembiring mengatakan kehadiran Agrinas Palma bukan tanpa dasar. Presiden Prabowo Subianto membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Tujuannya jelas: mengembalikan kawasan hutan yang disalahgunakan ke fungsi aslinya.

Sebagian dari lahan sitaan itulah yang kemudian diserahkan kepada Agrinas Palma untuk dikelola, agar nilai ekonominya tidak lenyap begitu saja. Diketahui, Agrinas Palma dipercaya mengelola lebih dari 833.000 hektare lahan sawit, termasuk 221.000 hektare dari PT Duta Palma Group yang disita Kejaksaan Agung.

Namun mandat Agrinas Palma jauh lebih dalam. Bukan hanya menjaga produktivitas lahan, tapi juga mendukung ketahanan energi nasional, menjadi model perkebunan sawit berkelanjutan, serta memulihkan tata kelola industri sawit yang selama ini kerap dikritik karena masalah transparansi dan kerusakan lingkungan.

“Kami ini mengemban tugas negara. Ini amanah dari Bapak Presiden,” kata Ospin, pria asal Tebing Tinggi yang sebelumnya menjabat sebagai Regional Head di PTPN IV Regional V.

Ospin menyadari banyak yang belum tahu apa sebenarnya tugas PT Agrinas Palma Nusantara (Persero). Bahkan, sebagian masyarakat di sekitar lahan sawit sitaan belum memahami mengapa perusahaan negara ini hadir di tanah yang dulunya dikelola pihak lain. Bahkan muncul anggapan miring seolah Agrinas Palma sekadar “menikmati hasil”.

“Kalau tidak dijelaskan, bisa muncul persepsi salah. Seolah-olah kami tidak menanam, tidak memupuk, hanya datang untuk panen. Padahal, semua ini bagian dari agenda negara.” ujarnya dilansir laman Agrinas

Ia menjelaskan, Agrinas Palma mendapat mandat dari negara untuk mengelola lahan sawit sitaan Satgas PKH. “Kita ini mengelola lahan yang diserahkan oleh Satgas. Tapi kita tidak sembarang kelola. Kalau itu hutan lindung, hanya satu siklus tanam. Setelah itu dikembalikan. Tidak kita ubah menjadi fungsi pertanian,” jelasnya.

Menurut Ospin, masyarakat perlu tahu bahwa tidak semua lahan yang diserahkan bisa dijadikan hak guna usaha (HGU). “Kalau hutan produksi, baru kita urus ke Kementerian ATR/BPN untuk proses HGU. Tapi tidak semua bisa. Dan tentu semuanya kita koordinasikan dengan pihak kehutanan,” ungkapnya.

Sosialisasi menjadi kunci agar masyarakat memahami bahwa Agrinas Palma bukan datang untuk menggusur, melainkan menjalankan mandat dengan pendekatan kolaboratif.

“Begitu lahan diserahkan dari Satgas PKH ke Agrinas Palma, statusnya bukan lagi lahan masyarakat. Tapi bukan berarti kami memutus hubungan. Kami mengajak kerja sama lewat skema operasional,” ujarnya. 

Lebih dari sekadar tugas teknis, mandat ini membuka ruang baru bagi kesejahteraan masyarakat. Lahan-lahan yang sebelumnya terbengkalai kini berpotensi membuka lapangan kerja, mendorong ekonomi lokal, dan menjadi contoh praktik tata kelola sawit yang adil dan ramah lingkungan.

“Saya berharap masyarakat bisa melihat kami bukan sebagai pengganti, tapi sebagai pengelola yang membawa nilai baru. Tujuan akhirnya jelas: mensejahterakan rakyat,” tutup Ospin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya