Bill Gates Sebut Jago AI Tak Akan Selamatkan Gen Z dari Status Pengangguran, Kenapa?
- eTeknix
Jakarta, VIVA – Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), generasi muda dihadapkan pada kenyataan baru dalam dunia kerja. Lulusan baru yang dulu begitu optimis menapaki awal karier, kini justru dilanda keresahan.
Pasalnya, tak hanya pekerjaan teknis, tapi juga posisi entry-level yang selama ini menjadi pintu gerbang karier, kini mulai tergeser oleh algoritma dan sistem otomatisasi.
Generasi Z, yang tumbuh di era digital dan akrab dengan teknologi, sempat menganggap AI sebagai senjata utama untuk bersaing di pasar kerja. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penguasaan AI saja tak cukup menjamin stabilitas pekerjaan.
Bahkan, miliarder pendiri Microsoft, Bill Gates, mengakui bahwa Gen Z mungkin tak akan aman, meskipun mereka sangat piawai menggunakan teknologi ini.
AI Bukan Jaminan Aman dari Disrupsi Kerja
Bill Gates.
- AI Generator Grok
Bill Gates memberikan nasihat kepada para lulusan baru, yakni manfaatkan alat AI, tetapi jangan berharap kondisi pasar kerja akan stabil. Ia menyebut sistem cerdas saat ini memang membuka peluang yang “menyenangkan dan memberdayakan,” seperti yang ia ungkapkan kepada CNN.
Namun, bukan berarti para lulusan yang ambisius akan langsung mendapatkan pekerjaan impian mereka hanya karena mampu menggunakan AI. Persaingan tetap ketat.
“Mengadopsi [AI], dan mengikuti perkembangannya, akan sangat, sangat penting,” kata Gates, seperti dikutip dari Fortune, Kamis, 7 Agustus 2025. “Namun itu tidak menjamin kita tidak akan mengalami banyak dislokasi.”
Gates menambahkan bahwa rekomendasinya untuk anak muda tidak berubah. “Tetaplah penasaran, banyak membaca, dan gunakan alat-alat terbaru,” katanya.
Pekerjaan Entry-Level Menyusut, AI Ambil Alih
Data menunjukkan bahwa pasar kerja entry-level di AS telah mengalami penyusutan sekitar 35% sejak Januari 2023. Posisi yang mudah digantikan oleh AI terkena dampak paling besar. Tak heran bila pencari kerja dari kalangan Gen Z mengeluh di TikTok tentang banyaknya email penolakan yang mereka terima dan menyebut pasar kerja saat ini seolah “rusak”.
Sebuah survei mengungkap bahwa 49% pencari kerja Gen Z di AS percaya bahwa AI telah mengurangi nilai dari gelar pendidikan mereka. Sementara itu, tingkat pengangguran untuk lulusan perguruan tinggi dalam 12 bulan terakhir hingga Mei naik di atas 6%, lebih tinggi dari tingkat pengangguran nasional yang berkisar 4%.
Gejala tergesernya peran entry-level bahkan sudah terasa di berbagai industri. Di firma investasi global Carlyle, pekerjaan pemula yang dulu dilakukan secara manual, seperti mencari artikel melalui Google atau meminta dokumen, kini ditangani AI. Perusahaan kini lebih memilih mempekerjakan karyawan level junior yang bisa memverifikasi akurasi pekerjaan AI.
CEO perusahaan konsultan Futurety asal Columbus, Bill Balderaz, mengaku pada Wall Street Journal bahwa ia memutuskan untuk tidak merekrut magang musim panas tahun ini, dan memilih menggunakan ChatGPT untuk menyusun salinan media sosial perusahaannya.
Gen Z Ubah Strategi: Pilih Jalur Non-Tradisional
Menanggapi tantangan tersebut, banyak anggota Gen Z mulai memutar arah. Mereka mulai melirik sektor-sektor kerja yang lebih tahan disrupsi—seperti pekerjaan fisik, pekerjaan berbasis relasi manusia, hingga peran yang memerlukan sentuhan kreativitas dan empati.
Sebuah survei terhadap 1.000 pekerja Gen Z menemukan bahwa 53% dari mereka kini tertarik pada pekerjaan keterampilan atau lisensi seperti konstruksi, instalasi listrik, dan pertukangan. Contohnya, tukang pasang lift bisa menghasilkan hingga enam digit penghasilan tanpa perlu gelar sarjana.
Pekerjaan dengan interaksi manusia tinggi juga menjadi incaran, termasuk tenaga kesehatan, pendidik, dan pekerja sosial. Profesi semacam ini dipandang lebih sulit tergantikan oleh AI dan memberikan rasa aman serta makna dalam bekerja.
Era AI memang membuka banyak peluang, tetapi juga membawa gelombang disrupsi besar bagi pekerjaan tradisional. Bill Gates mungkin benar, menguasai AI penting, tapi bukan jaminan.
Generasi Z, yang awalnya disebut sebagai generasi paling siap teknologi, kini dituntut lebih lincah beradaptasi. Menyambut masa depan kerja berarti bukan hanya belajar teknologi, tetapi juga memahami perubahan lanskap ekonomi dan membuka diri terhadap jalur karier non-konvensional yang selama ini kurang dilirik.